Anda Pengunjung Ke:
Fashion

Sabtu, 23 Januari 2010

KUMPULAN CERITA PENUH HIKMAH

(KIRIMAN USTD VICKY R,)

MENGAPA BERANGKAT DENGAN KERANDA....?

Malam itu kami semua yang berada di pondokan haji, mendapat informasi bahwa pesawat akan berangkat pukul 02.00 dini hari. Maka berbagai perasaan berkecamuk menjadi satu dalam pikiranku. Antara senang, haru, sedih, cemas. Tapi juga bersyukur. Karena, benar-benar aku akan berangkat menuju baitullah, yang sudah lama aku idam-idamkan selama puluhan tahun.

Setelah waktunya betul-betul tiba, kami semua yang tergabung dalam kloter dua, tepat pada pukul 01.30 dini hari masuk ke pesawat satu persatu.

Sungguh aku merasa ada sesuatu yang beda kalau dibandingkan dengan bepergian ke tempat lain. Meskipun sama-sama naik pesawat, jika pergi ke tempat lain suasana di dalam pesawat selalu ceria penuh sendau gurau dan tawa. Tetapi suasana di dalam pesawat kali ini sungguh berbeda. Semua jama'ah nampak serius. Di sana sini terdengar bisikan-bisikan do'a dari para jama'ah. Sehingga menambah suasana menjadi lebih ‘mencekam’.

Apalagi kondisi semacam itu terjadi pada malam hari, yang sunyi, yang jauh dari keramaian manusia pada umumnya. Kebetulan saat itu aku mendapat tempat duduk paling tepi, di dekat jendela. Sehingga aku bisa dengan leluasa melihat keluar jendela. Tak ada pemandangan lain kecuali kelap-kelipnya lampu bandara dan gelapnya langit tengah malam.

Setelah semua penumpang duduk sesuai dengan seatnya masing-masing, alhamdulillah tepat pukul 02.00 pesawat mulai bergerak. Berangkat menuju landasan pacu untuk terbang menuju tanah haram.

Satu lagi yang terasa nampak beda. Sejak pesawat bergerak pelan, berbelok arah untuk menuju landasan pacunya, semua yang ada di dalam pesawat terdiam bisu tak ada yang berbicara. Semua tertunduk dan terpaku. Masing-masing memandangi buku catatannya untuk berdo'a mohon perlindungan kepada Allah Swt. Karena Dialah Dzat Yang Maha Perkasa, yang menentukan hidup-mati manusia.

Aku melirik ke arah teman sebelahku. Aku memandang ke arah jamaah di depanku. Dan juga kucoba melihat orang-orang yang ada di belakangku. Semua membaca doa, bermunajat kepada Allah dengan begitu khusyuk.

Ketika semua orang membisu dalam kesepian, tiba-tiba terdengar suara menderu mesin pesawat. Maka pada saat yang bersamaan dengan suara menderu itu, kami rasakan pesawat mulai bergerak agak cepat dan akhirnya melesat naik ke angkasa yang gelap. Yang hitam, dan pekat.

Kembali aku melirik ke luar jendendela,..akh! Tak terlihat lagi kehidupan sekeliling kami. Semua yang ada di luar pesawat warnanya hitam. Seolah tak ada kehidupan lain. Selain kami yang ada di dalam pesawat... Betapa ngerinya...! Ternyata kami, para jamaah calon haji yang berjumlah sekitar lima ratusan orang tersebut, hidup ‘menyendiri’ diatas bumi yang tambah lama bertambah nampak kecil itu....subhaanallaah.

Tanpa terasa kupandangi keberadaan kami. Wajah setiap orang jamaah, perilaku mereka, juga semua benda dan interior yang ada di dalam pesawat. Ketika kuarahkan pandangku ke atap pesawat yang bentuknya memang agak lengkung, tiba-tiba pikiranku melayang pada sebuah benda atau kendaraan yang sering dipakai untuk mengangkut jenazah yang biasa aku saksikan di kampungku. Kendaraan istimewa yang di angkat oleh para pentakziah ketika menghantar jenazah ke pemakaman.

Kendaraan itu diangkat oleh sedikitnya empat orang. Itulah kendaraan para jenazah, yang ‘roda’nya terdiri dari manusia, yang dipakai untuk menghantarkan jasad manusia ke tempat kuburnya. Akh..! Agak merinding juga bulu kudukku. Di luar gelap sekali. Di dalam pesawat semua orang berdo'a. Deru suara pesawat, seolah suara jerit tangis anak manusia yang meraung-raung menghantarkan suatu proses pemakaman hamba Allah yang berjumlah ratusan orang yang berada di dalam sebuah keranda besar. Dan keranda itu kini melesat dengan cepat menuju ketinggian langit yang tak berujung pangkal. Membawa para calon jenazah yang berjumlah lima ratus orang lebih...

Tanpa kusadari aku teringat pada proses pemakaman salah satu tetanggaku. Ia meninggal sekitar satu bulan yang lalu. Seorang ibu yang meninggalkan tiga orang anaknya.

Masih teringat dalam benakku, ketika keranda sudah sampai di tepi liang kuburnya, masuklah tiga orang ke liang lahat untuk melakukan proses penguburan. Salah satu dari ketiga orang tersebut adalah anak kandung dari sang ibu yang meninggal tersebut.

Dengan wajah yang nampak sedih, sang anak pun mengubur jenazah ibunda dengan timbunan tanah dengan penuh hati-hati. Melihat ekspresi sang anak tersebut, seorang tetanggaku yang kebetulan berdiri di dekatku secara spontan berkata dengan setengah berbisik. Sebuah kalimat yang ditujukan pada dirinya sendiri. Dan kata-kata itu selalu kuingat dengan kuat.

Katanya :

"...ternyata beginilah akhir dari sebuah cerita hidup seseorang..." Aku tertegun dengan kata-kata yang bernada filosofis itu. Sebuah kalimat yang diucapkan secara spontan oleh orang-orang kampung, orang biasa yang notabene bukan seorang ulama, bukan pula seorang ustadz.

Tapi aku sungguh terpesona dengan kalimat itu. Setelah aku renungkan kata-kata itu, sungguh benar adanya...! Hidup adalah sebuah cerita yang unik, sejak manusia dalam buaian ibundanya, sampai kembalinya ia kepada pangkuan Sang Pencipta. Seluruh perjalanan hidupnya sangat menarik untuk direnungkan. Kalau kita cemati, ternyata semua persoalan yang terjadi dalam hidup ini hanyalah bunga-bunga hidup belaka. Dibalik semua persoalan dan kisah kehidupan itulah, tersimpan nilai mahal yang perlu kita renungkan makna hakikinya.

Ketika kita menyaksikan sebuah pemakaman, sebagai akhir dari perjalanan seseorang di dunia, akankah terpikir oleh kita...?

Mengapa kemarin kita kikir ?

Padahal yang kita kikirkan tidak lebih adalah harta yang tidak pernah dibawa pulang ke kampung keabadian. Ketika kita menyaksikan sebuah jenazah yang sudah tak berdaya semacam itu, kita pun akan merenung...

Mengapa ketika masih hidup kita pernah sombong kepada saudara kita lainnya? Padahal manusia tak memiliki apa-apa kecuali hanya sebuah tubuh terbujur kaku yang minta tolong bantuan orang lain untuk masuk ke peristirahatan terakhirnya...

Ketika kita menyaksikan proses pemakaman seperti itu, Mengapa pula kadang kita masih menyandarkan amal kebajikan kita pada orang lain?

Padahal ketika jenazah masuk ke liang kuburnya, banyak manusia di atas tanah pekuburan yang tak ambil peduli terhadap si fulan yang menghadap Sang Pencipta...

Tinggallah si fulan yang mempertanggungjawabkan segala perbuatannya secara sendiri. Tanpa bantuan orang lain lagi..

Akh...! Inilah akhir dari sebuah cerita kehidupan yang perlu untuk direnungkan...Sungguh tak pantas kita kikir, sungguh tak pantas kita sombong, sungguh tidak pada tempatnya kita merasa paling kuat, paling berkuasa, atau merasa banyak temannya... Karena di tanah itu, di rumah itu, di tempat itu, seseorang tidur sendiri, merana sendiri, menyesal sendiri, dan ia akan menanggung akibat dari perbuatannya ketika hidup di dunia. Penyesalan yang hebat pun tak ada gunanya lagi...

Di bagian akhir dari surat Yaasiin diceritakan betapa orang-orang kafir masih belum percaya bahwa nantinya mereka akan dibangkitkan, dan mereka akan mempertanggungjawabkan segala perbuatannya.

QS. Yasin (36) : 78-82
Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata: "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?"

Katakanlah: "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk, yaitu Tuhan yang menjadikan untukmu api dari kayu yang hijau, maka tiba-tiba kamu nyalakan (api) dari kayu itu." Dan tidakkah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi itu berkuasa menciptakan kembali jasad-jasad mereka yang sudah hancur itu? Benar, Dia berkuasa. Dan Dialah Maha Pencipta lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" maka terjadilah ia.

Dan merekapun menyesal luar biasa, setelah mengetahui sendiri akibat dari perbuatannya, yang ternyata mereka akan memetik hasilnya. Penyesalan itu tergambar dengan jelas dalam surat al-mukminuun berikut ini.

QS. Al-Mukminuun (23) : 99 -100
(Demikianlah orang-orang kafir itu) hingga apabila telah datang kematian kepada salah seorang dari mereka, dia berkata :"Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal saleh yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkan saja. Dan di hadapan mereka ada dinding (barzakh) sampai hari mereka dibangkitkan."

Ketika teman sebelahku menawarkan makanan ringan untukku, aku agak terkejut. Dan aku pun terbangun dari lamunanku yang cukup panjang tentang kematian.

Perjalanan di atas awan menuju tanah haram yang memakan waktu cukup lama itu, semakin menarik. Dalam perjalanan yang cukup melelahkan aku mendapat banyak pelajaran tentang hidup. Aku pun semakin bisa mengambil kesimpulan, bahwa semua yang dimiliki manusia ternyata menjadi tak ada artinya.

Harta, jabatan, ilmu, umur, anak, istri/suami, semua seperti tak ada nilainya lagi. Dan semua itu insya Allah akan menjadi bernilai dengan indah, hanya jika dikaitkan dengan Sang Maha Pengasih, Allah Swt.

Seorang hamba dalam perjalanan hidupnya, jika semakin bertambah mendekat kepada Allah Swt, semakin nampak betapa semua menjadi kecil. Yang besar hanya Dia. Yang nampak hanya Dia. Yang dekat hanya Dia...

Pesawat bergerak semakin meninggi. Semakin menjauhi kota Surabaya. Kulihat lampu-lampu bandara semakin tak kelihatan lagi. Bahkan lampu-lampu kota Surabaya yang begitu terang, yang jumlahnya sangat banyak itu semakin lama semakin sedikit, dan nampak semakin kecil, yang akhirnya hilang. Tak nampak lagi....

Allaahu akbar..!

Aku semakin tenggelam dalam pikiranku. Sekian ratus orang yang berada di dalam pesawat seolah kumpulan debu atau bahkan lebih kecil lagi. Dan kini sedang melayang di angkasa raya yang luasnya tak berbatas, dalam kegelapan malam... Akh, betapa kecilnya, dan betapa lemahnya diri manusia.

Arti dan keberadaan manusia terasa menjadi semakin kecil, ketika para jamaah melantunkan dzikirnya secara berulang-ulang. "...subhaanallaah, wal hamdulillaah, wa laa ilaaha ilallaahu, allaahu akbar..., " "...subhaanallaah, wal hamdulillaah, wa laa ilaaha ilallaahu, allaahu akbar..., " "...subhaanallaah, wal hamdulillaah, wa laa ilaaha ilallaahu, allaahu akbar..., "

Sebuah alunan yang terasa begitu indah. Merdu sekali. Menyentuh kalbu. Suasana ini tidak pernah kurasakan sebelumnya. Meskipun aku sering melakukan dzikir semacam itu. Keindahan alunan melodi itu terjadi dan tercipta secara harmoni. Walaupun secara spontanitas.

Hal itu dikarenakan penghayatan dan penjiwaan yang luar biasa dari hati para jamaah yang pasrah. Yang semakin merasa tak berdaya. Sungguh benar kata Rasulullah, bahwa orang yang paling pintar dalam hidupnya bukanlah orang yang punya ilmu pengetahuan yang tinggi, atau orang yang menguasai berbagai macam ilmu yang tak tertandingi. Tetapi orang yang paling pintar, kata Rasulullah adalah siapa saja di antara kalian yang sering ingat akan mati, dan selalu berusaha untuk mencari bekal sebanyak-banyaknya. Agar bisa bertemu dengan Dzat Yang Maha Tinggi dalam keadaan ridha dan diridhai.

Seorang sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah saw,:"...Ya Rasul, siapakah orang yang paling pintar itu?..." Rasul tercinta menjawab :

" ...Aktsaruhum dzikran lil mauti wa asyad duhumusti' daadu lahu, ulaa ika humul akyaasu, dzahabuu bi syarafiddunya wa karaa matil aakhirah"

yaitu siapa saja di antaramu yang terbanyak mengingati mati, dan yang lebih keras mengadakan persediaan baginya. Mereka itulah orang-orang pintar. Yang pergi dengan kemuliaan dunia, dan sekaligus kehormatan akhirat.(HR. Ibnu Majah)

Sungguh sangat masuk akal, apa yang disampaikan Rasulullah itu. Dalam kondisi semacam itu, manusia tak punya pegangan lain kecuali berpegang pada tali Allah, sebagai satu-satunya Dzat Penentu hidup dan mati.

Mengapa mengingat mati lebih pintar dari yang lainnya? Sebab keadaan ketika mati mencerminkan sukses atau gagalnya seseorang dalam perjalanan hidupnya. Mati adalah ending kehidupan yang dapat dipakai sebagai ‘tanda’ apakah seseorang berhasil atau tidak dalam kehidupannya. Waktu dunia sangatlah pendek dibanding dengan waktu akhirat. Dan peristiwa mati adalah merupakan pintu masuk pada kehidupan yang sesungguhnya.

Yang aku rasakan pada saat seperti itu adalah: semua yang ada, yang selama ini kucari, ternyata bukanlah kepunyaanku. Semua yang kudapatkan selama hidup ini, ternyata bukanlah dalam kekuasaanku. Waktu yang kumiliki selama ini, ternyata begitu cepatnya berlalu.

Tiba-tiba saja aku dan juga mungkin semua orang akan merasa, bahwa waktu untuk hidup yang tersedia, hanya seperti satu hari saja. Kalau waktunya sudah tiba, umur empat puluh tahun, sungguh seperti satu hari saja. Bahkan umur tujuh puluh tahun, delapan puluh tahun atau bahkan lebih, juga hanya seperti satu hari saja....

Barulah aku mengerti mengapa Allah Swt, bersumpah Demi Waktu. Begitu pentingnya waktu yang disediakan Allah bagi manusia. Sayang, banyak sekali manusia tidak menyadarinya...

Dan keranda yang kami tumpangi pun terus melesat dengan cepat menuju tanah haram. Pesawat Boeing dengan kapasitas 540 orang itu ternyata tidak lebih dari sebuah titik yang lebih kecil dari sebutir debu yang melayang di angkasa raya yang luasnya tak terkira...

Ya Allah Ampunilah kami...

Kami baru menyadari betapa kecilnya diri manusia di alam semesta ini. Apalagi di hadapanMu Dzat Yang Maha Perkasa...

"...astaghfirullaahal adziim..., Subhaanallaah, wal hamdulillaah, wa laa ilaaha ilalaahu, allaahu akbar..."

Setiap kehidupan manusia, masing-masing kita tidak ada yang mengetahui kapan dan di mana berhentinya. Karena hidup adalah bagaikan garis lurus yang suatu saat akan menjumpai titik akhir.

Hanya saja setiap titik akhir dari kehidupan manusia, tak satu pun yang mengetahuinya. Tak satu pun yang mengetahui 'jadwal' keberangkatannya. Karenanya, setiap manusia haruslah selalu berjaga-jaga atasnya.

Menurut ilmu astronomi, alam kita ini melengkung. Baik yang ada di alam kecil (mikrokosmos), maupun yang ada pada alam besar (makrokosmos). Bahkan permukaan bumi, planet-planet lain, bulan, matahari atau pun alam semesta raya. Semua melengkung, dan membentuk lintasan-lintasan yang berbentuk ellips.

Maka, kita pun kini berada di dalam keranda super raksasa yang terus mengembang, dan meninggi membawa peradaban manusia menuju titik akhir zaman. Pada titik itulah setiap manusia akan dimintai pertanggungan jawabannya atas segala perbuatan ketika hidup di dunia. Sungguh, tak ada yang bebas dari kematian. Karena kematian itu sendiri adalah bagian dari kisah perjalanan anak manusia menuju al-Khalik Yang Maha Tinggi.

Perjalanan manusia dari alam ruh, beralih masuk ke alam rahim. Dari alam rahim ibunda melalui proses kelahiran beralih masuk ke alam dunia. Dari alam dunia melalui proses maut atau proses kematian beralih masuk ke alam barzah. Dari alam barzah, melalui proses kebangkitan manusia akan beralih masuk pada kehidupan akhirat. Dan akhirnya semua makhluk akan kembali kepada Ilahi rabbi, Dzat Sang Penguasa seluruh alam di hari kemudian nanti.

QS. An-Nisaa' (4) :78
Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)': Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah". Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikit pun?

Tentang mati ini, sering kali banyak orang yang lupa. Sehingga malaikat Jibril pernah berpesan kepada rasulullah saw. Dengan maksud agar disampaikan kepada kita semuanya.

Hiduplah semau-mu, tetapi ingatlah bahwa suatu saat engkau mati...

Berbuatlah semau-mu, tetapi ingatlah bahwa perbuatan apapun yang engkau lakukan akan dibalas sesuai dengan yang engkau lakukan itu...

Cintailah segala yang engkau cintai, tetapi ingatlah bahwa suatu saat engkau akan mengucapkan selamat berpisah dengannya...

================================

DUKUN PALING AMPUH (Mau Mencobanya?)

Saya pernah dapat nasihat dari seorang teman........
dukun yang paling Ampuh didunia ini adalah IBUMU,
coba kamu sekarang datangi ibumu....... minta do'a sama dia
lalu beri ia uang......... niscaya uang itu bakal kembali minimal sama
maksimal berpuluh kali lipat..........
cuma sayang kita kadang tidak menyadari hal itu...........
sayapun saat itu sepertinya baru sadar......
betul juga apa yang ia katakan.........

saya coba buktikan
esoknya sayapun pergi ke ATM
saya ambil uang tidak banyak hanya Rp 400.000
saya datangi ibu ....... saya berikan uang itu

berapa hari kemudian saya mendapat telp dari seorang teman lama
ternyata dia memberikan order pesanan barang.
dan setelah hitung hitung........... keuntungannya sama dengan
yang saya berikan ke ibu....... Rp400.000,-
subhanallah........ nasihat temanku ternyata tidak meleset.

Dengan keikhlasan tenyata Allah membalas tidak hanya nanti di Akhirat
tetapi pembayaranya kontan diberikan di dunia.
Kadang kita tidak sadar......... kalau kita bersedekah kita cari fakir miskin
yang jauh padahal oarngtua kita mungkin masih membutuhkan.

Dalam Al- Qur'an pun (maaf ayatnya lupa) dijelaskan tahapan prioritas kita untuk memberi
1. Orang tua
2. Saudara
3. Tetangga
4. Fakir miskin

Cuma kita kadang terbalik fakir miskin yang jauh kita cari........ orang tua, saudara bahkan
tetangga kesusahan kita tidak tahu........
Alangkah indahnya Islam .........alangkah indahnya hidup ini kalau kita dapat mengamalkannya

============================

SAAT ENGKAU MEMANGGILKU

Saat semalam hendak menonton acara disebuah stasius televisi yang menampilkan sebuah acara yang membangkitkan/memotivasi seseorang untuk selalu berfikir positif. Saat acara itu hendak dimulai saat itu pula azan berkumandang yang berasal dari masjid di seberang rumah.

Awalnya aku masih menonton pembukaan acara tersebut, namun kuping rasanya menangkap dengan jelas suara muazin mengumandangkan azan sholat Isya. Dan disaat itu pula hati selalu menjawab seruan sang muazin.

Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar

Setiap mendengarkan suara muazin hati menjawab “Allahu Akbar”, “Allah Maha Besar”. Saat itu mulai ada perasaan risih karena masih menonton acara pembukaan yang dimulai dengan sebuah lagu yang cukup terkenal pada masanya.

Asshadu ala ilaha ilallah, hati kembali menjawab seruan itu “Asshadu ala ilaha ilallah”, “aku bersaksi bahwa tiada tuhan Allah. Dua kali aku menjawab seruan itu dan saat itu sudah tidak konsen, karena hati bilang lagi “mana buktinya kamu bersaksi bahwa tiada tuhan melainkan Allah?”. Deeeeg….

Ashadu anna Muhammadurasulallah, dua kali seruan itu makin jelas terdengar ditelinga ini dan kembali lagi suara yang paling dalam menjawab secara otomatis “Ashadu anna Muhammadurasullah”, “(dan) aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah”. Mana, mana kembali lagi hati menanyakan diri ini mana buktinya Kalau kamu bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah sedangkan kamu saja masih duduk di depan televisi? Gubrak, tiba-tiba badan jalan meloncat karena sudah tidak kuat lagi menanggung malu dihadapan Allah Azzawajalla.

Langsung berlari ke kamar mandi mengambil wudhu memakai pakaian yang bersih semprot sana semprot sini berangkat untuk memenuhi panggilan Allah swt yang asbab muazin saja azan dikumandangkan sesungguhnya Allah jualah yang memanggil hamba-hambaNYA.

‘’Ya Allah, ampunkanlah diri ini yang selalu berbuat dzolim. Ya Allah, sesungguhnya hanya Engkau yang dapat menerima tobatku ini dan Sesungguhnya Engkau maha pengampun lagi maha penyayang’’.

"Ya Allah, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat. Ya Allah perkenankanlah do’aku. Ya Allah tuhan yang maha pengasih lagi maha pengampun, ampunilah aku dan kedua ibu bapaku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (Hari Kiamt)’’

Ya Allah yang membolak-balikan hati ini, tetapkanlah hati ini untuk selalu mengingatMU tetapkanlah hati ini untuk selalu berzikir kepadaMU’’.

‘’Ya Allah dengarkanlah dan kabulkanlah permohonan dan doaku yang dzalim ini’’.

ketika ku bertemu dengan Engkauku merasakan hangatnya sentuhanMU
melayang bagaikan dunia tanpa batas
ku sendiri namun Kau ada

Ya Rabb aku datang dengan kedzoliman diri
Kau datang dengan rahmatMU

Ya Rabb aku datang dengan kenistaan
Kau datang dengan kasihsayangMU

Ketika kubersimpuh di depanMU
Kau peluk aku dengan asmaMU

berderai air mata ini berjatuhan dihadapanMU
terbuai jiwa ini di dekapanMU

ingin rasanya aku selalu bersamaMU
ku rela melepas jiwa ini demi cintaku kepadaMU

Rabbi izinkan aku untuk selalu dapat mencintaiMU dengan segala keterbelakangan diri ini


================

SUATU HARI...

Khalifah Harun Ar-Rasyid merasa kering jiwanya, gundah...
kemudian ia memanggil seorang ulama menghadapnya.

sang ulama pun datang kepadanya dan menghadap Khalifah Harun Ar-Rasyid

"Wahai syekh, sekarang saya merasa gundah, jiwa saya kering, apa yang menyebabkannya" , tanya Khalifah,

pelayan khalifah datang sambil membawa gelas yang berisi air untuk beliau berdua.

ketika khalifah hendak meminum air itu...

"Wahai khalifah, apa yang rasakan ketika suatu saat Anda akan sangat kehausan , dan berjuang ke sana kemari untuk meminum air, namun tidak ada air yang Anda dapatkan "
tanya ulama tersebut.

"Saya akan berjuang keras, mencari kemanapun untuk mencari air itu, bahkan saya akan menyerahkan sebagian harta saya untuk membeli segelas air ini...." jawab sang khalifah....

sang ulama pun geleng-geleng kepala...

kemudia ia bertanya kembali (setelah melihat khalifah meminum air itu)...
"Wahai khalifah, bagaimana bila air yang Anda minum itu tidak dapat dikeluarkan dari tubuh Anda (baca : (-b.a.k - buang air kecil) ?"

"Apalah artinya harta, anak, istri, kerajaan , dan kekuasaanku kalau aku tidak bisa mengeluarkan air ini dari tubuhku (-b.a.k-), maka akan aku keluarkan semua hartaku untuk membuat air keluar dair tubuhku (berobat, atau yang lain...-- pokoknya ikhtiar --)" jawab khalifah

kemudian sang ulama pun geleng-geleng kepala...
sang khaifah pun kemudian terdiam,
. . . . . . . . .
merenung . . .

kemudian ia menangis ... menangsi dengan sedih...sampai semalaman ia tak henti-hentinya mengeluarkan air matanya...

"Ya Allah, ampunilah dosaku...hamba ini telah sering melalaikan-Mu,

sungguh besar karunia-Mu, namun jiwa ini tiada pernah mensyukuri,

sungguh besar rahmat-Mu, namun jasad ini tak henti-hentinya bermaksiat kepada-Mu, ...

" beliau terus berdoa , bersimpuh, bermunajat pada Dzat Yang Maha Memiliki segalanya...
esoknya ... ia menyerahkan kekuasaan / kerajaannya kepada orang lain...
"Wahai Fulan, kuserahkan kerajaanku kepadamu, akan kugunakan sisa hidupku untuk mendekatkan diriku kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala"

Hikmah :

1. Mari kita renungkan nikmat Allah yang telah dikaruniakan kepada kita, sudah terlalu
banyak, namun sampai sejauh mana kita mensyukurinya..

2. Bayangkan kalo ketika Anda membaca kisah ini, kemudian malaikat maut menjemputAnda
untuk dibawa menghadap-Nya, sudahkah kita siap??

3. Mata, lisan, telinga, kaki, tangan, bagaimana seandainya nikmat2 itudicabut satupersatu
oleh Dzat yang Maha Memberi

4. Apakah ketika kita minum, makan, belajar, bekerja (dan aktivitas2 lain), kita ingat bahwa
semua itu adalah pemberian Allah Subhanahu Wa Ta'ala??

5. Bagaimanakah cara kita mensyukuri nikmat2 yang telah dianugerahkan-Nya kpada kita??

dan masih banyak lagi...

marilah banyak2 kita merenungi dan memikirkan bagaimana ikhtiar kita untuk menjadi hamba yang senantiasa bersyukur ...
dan mengoptimalkan segala apa yang Ia karuniakan kepada kita sebabagai sarana untuk lebih mendekatkan diri kita kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala ....

Wallahu A'lam bi shshowab...

===========================

Abu Yazid Al Busthami, pelopor sufi, pada suatu hari pernah didatangi seorang lelaki yang wajahnya kusam dan keningnya selalu berkerut.Dengan murung lelaki itu mengadu, "Tuan Guru, sepanjang hidup saya, rasanya tak pernah lepas saya beribadah kepada Allah. Orang lain sudah lelap, saya masih bermunajat. Isteri saya belum bangun, saya sudah mengaji. Saya juga bukan pemalas yang enggan mencari rezeki.

Tetapi mengapa saya selalu malang dan kehidupan saya penuh kesulitan?" Sang Guru menjawab sederhana, "Perbaiki penampilanmu dan rubahlah roman mukamu. Kau tahu, Rasulullah SAW adalah penduduk dunia yang miskin namun wajahnya tak pernah keruh dan selalu ceria. Sebab menurut Rasulullah SAW, salah satu tanda penghuni neraka ialah muka masam yang membuat orang curiga kepadanya." Lelaki itu tertunduk. Ia pun berjanji akan memperbaiki penampilannya.

Mulai hari itu, wajahnya senantiasa berseri. Setiap kesedihan diterima dengan sabar, tanpa mengeluh. Alhamdullilah sesudah itu ia tak pernah datang lagi untuk berkeluh kesah. Keserasian selalu dijaga. Sikapnya ramah, wajahnya senantiasa mengulum senyum bersahabat. Roman mukanya berseri. Tak heran jika Imam Hasan Al Basri berpendapat, awal keberhasilan suatu pekerjaan adalah roman muka yang ramah dan penuh senyum. Bahkan Rasulullah SAW menegaskan, senyum adalah sedekah paling murah tetapi paling besar pahalanya. Demikian pula seorang suami atau seorang isteri. Alangkah celakanya rumah tangga jika suami isteri selalu berwajah tegang. Begitu juga celakanya persahabatan sekiranya dikalangan mereka saling tidak berteguran. Sebab tak ada persoalan yang diselesaikan dengan mudah melalui kekeruhan dan ketegangan. Dalam hati yang tenang, pikiran yang dingin dan wajah cerah, Insya Allah, apapun persoalannya nescaya dapat diatasi. Inilah yang dinamakan keluarga sakinah, yang didalamnya penuh dengan cinta dan kasih sayang.

=====================

Jangan Ragu dengan Rezeki Allah

Oleh Sus Woyo

Saya mau pergi ke rumah orang tua saya. Waktu itu, anak saya yang
masih berumur lima tahun dan menjelang sekolah TK itu menangis
ingin ikut. Awalnya saya tidak berencana untuk membawa dia, namun
karena tangisnya tidak mau berhenti, akhirnya saya ajak juga.

Sebelum berangkat, dia saya beri janji. Agar selama perjalanan nanti
jangan jajan. Sebab saya sedang tidak punya uang. Saya hanya ada uang
untuk ongkos berangkat ke rumah orang tua saya saja. Selebihnya saya
tidak punya apa-apa.

Namun, yang namanya anak, walaupun sudah berjanji tidak jajan, begitu
melihat berbagai macam barang di pingiran terminal, keinginannya
mendadak bangkit. Pertama ia melihat berjejernya para pedagang pakaian.
Ia minta dibelikan kaos ala pemain bola dunia. Ia memaksa saya untuk
membeli kaos yang bertuliskan salah satu pemain sepak bola Inggris, Beckam.
Namun tidak saya kabulkan. Karena saya tidak punya uang untuk itu.

Dengan berbagai cara, ia saya hibur agar tidak minta kaos-kaos itu.
Ia segera saya bawa ke tempat di mana banyak berjejer delman.
Sebab dengan begitu ia akan lupa karena melihat banyak kuda di situ.
Namun sial, ternyata di kompleks itu juga ada pedagang buah yang
begitu menarik menata dagangannya. Ia minta dibelikan apel. Permintaan
itupun tidak saya kabulkan. Sekedar untuk menghibur dia, saya bisikan
kalimat padanya. "Sabar ya… nanti di rumah nenek ada apel."

Cepat-cepat saya bawa anak saya ke tempat bis jurusan daerah orang tua
saya. Ia segera saya ajak naik, dan duduk di depan sendiri, di samping sang
sopir. Ia agak terhibur, karena banyak berlalu lalang truk gandeng dan kendaraan
tangki pertamina yang besar-besar itu. Sebab ia sangat senang kalau melihat
kendaraan besar semacam itu.

Saya lega. Saya lebih tenang karena sudah tidak akan melewati pasar lagi.
Dengan demikian anak saya tidak akan minta jajan lagi. Saya duduk
sambil merangkul anak saya. Dia begitu nikmat melihat lalu lalangnya
kendaraan di depan kami. Ia sudah lupa dengan apa-apa yang ia minta
di sepanjang perjalaan tadi.

Sebenarnya saya juga merasa kasihan. Seandainya saya punya uang
cukup, tentu saya tidak akan berbuat sekejam itu. Tentu saya akan menuruti
kehendaknya, walaupun mungkin tidak semua saya turuti. Orang tua mana
sih yang tidak ingin memberikan sesuatu kepada anaknya?

Sedang asyik-asyiknya, kami menikmati berbagai macam kendaraan di
depan bis yang kami tumpangi, tiba-tiba seorang ibu naik dan duduk persis
di sebelah saya. Sebuah keranjang kecil berisi berbagai macam barang dari
pasar ada dalam keranjang tersebut.

Kami saling berbasa-basi. Ternyata ia satu jurusan dengan saya. Beberapa
menit sebelum bis jalan, perempuan itu menyodorkan tiga buah apel kepada
anak saya. Saya kaget. Seolah perempuan itu tahu bahwa anak saya sedang
menginginkan apel. Anak saya langsung memakannya dengan lahap. Saya
melihat nikmatnya anak saya makan apel itu dengan linangan air mata.
Saya tak bisa membelikan buah itu, tapi Allah tahu tentang keinginan anak
saya. Sehingga lewat perempuan itu dia dapat menikmati apel. Betul-betul
tidak saya sangka sebelumnya. Betul-betul di luar jangkauan nalar saya.

Sampai di rumah orang tua, saya lebih kaget lagi. Saya sama sekali tidak
membayangkan saudara-saudara saya akan berkerumun menemui saya. Dan
mereka seolah berlomba memberikan uang kepada anak saya. Sampai nenek
saya yang seharusnya saya beri uang justru memberikan rupiah kepada anak
saya. Seolah mereka tahu bahwa kami sedang tidak mempunyai uang. Seolah
mereka tahu bahwa saya ada dalam keadaan sangat kesulitan dalam hal keuangan.

Sepulang dari rumah bapak ibu saya, saku celana dan baju anak saya tak ada
yang kosong dari lembaran-lembaran uang. Ahirnya uang itu bisa dipergunakan
anak saya untuk membeli baju bola yang sejak lama ia inginkan. Bisa membeli
buah apel dan bakso di pasar. Dan yang lebih mengharukan adalah bisa
membantu saya untuk mengisi arisan di lingkungan RT saya.

Sambil melihat anak saya menikmati semangkok bakso, saya hanya bisa
bergumam, bahwa rizki Allah datang selalu tak terduga. Walaupun saya
sedang tidak punya usaha, karena sedang mengalami kebangkrutan, tapi
Allah tetap menyodorkan rizki kepada kami.

Sebuah keyakinan tentang ke-maha besar-an Allah, ahirnya tumbuh kembali.
Puing-puing kesusahan hidup dan keraguan tentang rizki Allah semakin
terpendam. Apalagi kalau mengingat firman Allah, - Dan tak ada suatu
binatang melatapun di muka bumi ini melainka Allah lah yang memberi
rezekinya-, maka keraguan itu makin tidak ada. Sayang seribu sayang,
hamba yang kecil ini masih begitu gampang dan mudah dihinggapi rasa ketakutan tidak kebagian rizki.

===========================================

’Ali ra Memimpin Perang Sebagai Contoh Mulia

Sang Nabi Suci Rasulallah lalu berkata kepada ’Ali ra, “Wahai putra pamanku, wahai ’Ali ra! Aku sangat menyadari betapa sakitnya matamu. Walau demikian, bila aku mencium matamu yang menyaksikan kebenaran, maka semua rasa sakitmu akan hilang, Insya Allah. Karena ini adalah hari penting untuk bertugas.”

Demikianlah, segera setelah Sang Nabi Rasulallah menyentuhkan bibir penuh berkah beliau ke mata ’Ali ra -yang melihat dengan penampakan Kebenaran- semua sakit hilang segera hilang. Kemudian Sang Nabi Rasulallah berdo’a untuk ‘Ali ra dan menyandangkan pakaian zirah beliau serta menopangkan pedangnya sendiri kepada ‘Ali ra. Sang Nabi Rasulallah memberikan panji Islam dan berkata, “’Ali ra! Allah swt telah memutuskan jatuhnya benteng ini akan diraih oleh tanganmu!”

Kemudian beliau mencium kening ‘Ali ra dan berdo’a dengan kalimat berikut “Udkhul ‘ala barakati-llah!” (Masuklah ke keberkahan dari Allah). Setelahnya, ‘Ali ra dinobatkan sebagai komandan pasukan dan dikirim ke benteng Qamus. ‘Ali ra bergerak maju ke pintu-pintu gerbang Qamus.

Sementara itu kaum kafir untuk menunjukkan bahwa moral mereka tidak tergoyahkan meski pun mendapat serangan hebat dari pasukan Muslim, mempersiapkan pernikahan salah satu putri kepala suku mereka dengan putra dari bangsawan lainnya. Mempelai pria mendekati mempelai wanita sebagaimana adat istiadat mereka, membawa sebuah nampan berisi permata ditangan yang satu dan sebuah nampan berisi emas ditangan lainnya, sebagai syarat agar sang mempelai wanita memberi izin untuk membuka cadar. Walau demikian, mempelai wanita dengan keras menolak seraya berkata, “Tidak akan kutampakkan wajahku kepadamu karena batu-batuan atau bongkahan emas! Dia yang ingin melihat wajahku harus membawa ke hadapanku orang Arab kasar yang berbaris dan berusaha meruntuhkan benteng kita!”

Kata-kata ini membangkitkan ambisi yang menyala-nyala di hati anak muda ini. Dia berdiri, menyelempangkan pedangnya dan lari menantang mereka yang berada diluar gerbang. Sudah merupakan kebiasaan pada saat itu kalau 2 pihak yang bertikai pertama kali adalah terlibat dalam tukar menukar kata sebelum bentrokan senjata. Karena itu, anak muda itu mulai memuji-muji setinggi langit kebaikan dan posisinya di antara bangsawan Khaibar. ‘Ali ra memberi jawaban seperlunya, lalu dia berkata, “Jangan banyak kata! Pengantin wanita dan kaummu menunggumu seperti halnya Sang Nabi Suci Rasulallah dan para sahabatku menunggu kedatanganku! Mari kita mulai unjuk kemahiran dalam bertarung!”

Segera anak muda ini melompat ke punggung kudanya. Para penonton dari atap dinding benteng mulai bersorak-sorai. Mereka yang mendengar pidato ‘Ali ra dan mengenali siapa dia sebenarnya, memekik, “Khaibar kalah!” sementara kaum Muslim menyemangati dan melantunkan Takbir dengan lantang.

Kemudian ‘Ali ra berkata kepada musuhnya, “Aku akan memberimu hadiah lain. Karena kau baru saja terpisah dari kekasihmu, aku membiar kau hak untuk menyerang lebih dahulu.” Karena melalui penglihatan kewalian, ‘Ali ra memandang sekilas mengenai hasil dari kontes ini. Jadi, putra kepala suku Khaibar menyerang lebih dulu, tapi hanya menyentuh ujung tameng ‘Ali ra yang tidak menyentuh sedikitpun sepupu Sang Nabi Rasulallah. Kini giliran ‘Ali ra menyerang. Dengan sekali tebas, dia jatuhkan musuhnya ke tanah, lutut ‘Ali ra menjejak bahu anak muda itu. ‘Ali ra akan memisahkan kepala dari badannya dengan pedang Sang Nabi Rasulallah, ketika anak muda yang masih belum kehilangan semangat tempurnya itu meludahi wajah ‘Ali ra. Segera ‘Ali ra menarik pedang dari leher anak muda itu dan berkata, “Bangkitlah!” Si musuh pun bangkit, tercengang-cengang. Dia tidak mengerti apa yang terjadi pada dirinya dan bertanya kepada ’Ali ra, “Apa maksudnya ini? Kau selamatkan jiwaku saat bisa punya kesempatan terbaik untuk menghabisiku, kau mengasihaniku dengan menarik pedang pada saat kau hendak memisahkan kepala dari badanku??”

Ali ra kemudian menjelaskan dengan cara khusus yang diberikan kepadanya, “Kami memerangi musuh kami atas nama Allah swt dan Rasulullah, Nabi Suci-Nya Rasulallah. Kami bahkan tidak menyentuh sehelai pun rambut musuh karena perintah hawa nafsu. Ketika kau meludahi wajahku saat aku akan memisahkan kepalamu, nafs (hawa nafsu) menyerangku. Lalu aku berpikir, ini tidak akan terjadi, ini tidak pantas bagi kehormatanku kalau aku harus membunuh seseorang sebagian karena Allah swt dan sebagian lagi karena hawa nafsuku sendiri, maka ini menodai kehormatanku. Karena itulah kutarik tanganku. Aku adalah seseorang yang dituntun oleh tangan Muhammad Rasulallah yang diutus membimbing ummat manusia keluar dari kegelapan menuju cahaya. Beliau bahkan melebarkan tangan rahmat beliau kepada musuhnya. Dijalan kami, tidak dibenarkan mengikuti perintah dari hawa nafsu, hal tersebut terlarang bagi kami. Oleh karena itu, mari kita bertarung lagi.”

Putra sang kepala suku ini terkejut oleh ucapan ’Ali ra dan perasaan sungkan yang mendalam terhadap musuhnya ini yang kian menyusut bahkan ketika menghadapi kematian. Dia mulai mempertimbangkan ucapan ’Ali ra dengan sungguh-sungguh. ’Ali ra telah berbicara langsung ke dalam jiwa dan dirinya mulai terpengaruh sepenuhnya. Ucapan ini sudah mengendalikan nafsnya, yang memerintah untuk memenggal leher lawannya tapi sebagai ganti dia malah menerima kemurahan hatinya. Si pemuda berpikir bahwa kebaikan hati dan kekuatan karakter yang tidak digunakan untuk mengikuti hawa nafsu membunuh, mestilah lebih berharga dari 100 orang pengantin wanita, 100 ekor binatang ternak dan berkotak-kotak permata yang tidak terhitung.

Nasib ciptaan itu terletak di antara 2 buah jari Murka dan Rahmat. Ini adalah salah satu contoh lain betapa gigihnya seorang musuh kejam yang diselamatkan dari manifestasi Murka-Nya dan sebaliknya mencapai Rahmat-Nya.

Anak muda ini lalu berkata kepada ‘Ali ra, “Setelah kau memperlihatkan kepadaku jalan ke derajat tinggi kebaikan yang diam-diam kau ketahui, aku mohon padamu untuk menjatuhkan ganjaran hukuman atas kelancanganku. Terimalah aku dalam rengkuhan Islam, biarkan aku bersaksi keimananku dalam Islam di hadapan Sang Nabi Muhammad Rasulallah, lalu kau dapat membunuhku. Alasan mengapa aku menginginkan kematian adalah aku takut jika orang-orang berpikir kalau aku menerima Islam karena takut menghadapi adu laga kedua.”

Mendengar jawaban ini, ‘Ali ra berteriak lantang mengucap Takbir dan berkata, “Pada akhirnya, setiap orang akan bertemu dengan Pencipta-Nya; Allah swt mengetahui dan menghormati keimanan dan kesadaran kita masing-masing, seluruh rahasia dan pikiran terdalamnya. Kita tidak ikut campur dengan Allah swt. Karena kau menyatakan keinginan menjadi Muslim, maka kini kita bersaudara dan ambillah hikmah dari kata-kata suci Al Qur’an.”

Pemuda itu lalu menangis dan mengikuti Sayyidina ‘Ali ra, serta mengumumkan keimanannya dengan mengucapkan kalimat syahadat dengan nyaring, “Asyhadu alla ilaaha illAllah, wa asyhadu anna Muhammad-ar- Rasulullah.”

========================
KESAKSIAN SELEMBAR BULU MATA...

Diceritakan di Hari Pembalasan kelak,

Ada seorang hamba Allah sedang diadili. Ia dituduh bersalah, menyia-nyiakan umurnya di dunia untuk berbuat maksiat. Tetapi ia berkeras membantah. "Tidak. Demi langit dan bumi sungguh tidak benar. Saya tidak melakukan semua itu".

"Tetapi saksi-saksi mengatakan engkau betul-betul telah menjerumuskan dirimu sendiri ke dalam dosa," jawab malaikat. Orang itu menoleh ke kiri dan ke kanan, lalu ke segenap penjuru. Tetapi anehnya, ia tidak menjumpai seorang saksi pun yg sedang berdiri. Di situ hanya ada dia sendirian. Makanya ia pun menyanggah, "Manakah saksi-saksi yang kau maksudkan? Di sini tidak ada siapa kecuali aku dan suaramu." "Inilah saksi-saksi itu," ujar malaikat. Tiba-tiba mata angkat bicara, "Saya yang memandangi." Disusul oleh telinga, "Saya yg mendengarkan." Hidung pun tidak ketinggalan, "Saya yang mencium." Bibir mengaku, "Saya yang merayu." Lidah menambah, "Saya yang mengisap." Tangan meneruskan, "Saya yang meraba dan meremas." Kaki menyusul, "Saya yang dipakai lari ketika ketahuan." "Nah kalau kubiarkan, seluruh anggota tubuhmu akan memberikan kesaksian tentang perbuatan aibmu itu, ucap malaikat.

Orang tersebut tidak dapat membuka sanggahannya lagi. Ia putus asa dan amat berduka, sebab sebentar lagi bakal dijebloskan ke dalam jahanam. Padahal, rasa-rasanya ia telah terbebas dari tuduhan dosa itu. Tatkala ia sedang dilanda kesedihan itu, sekonyong-konyong terdengar suara yang amat lembut dari selembar bulu matanya: "Saya pun ingin juga mengangkat sumpah sebagai saksi." "Silakan", kata malaikat. "Terus terang saja, menjelang ajalnya, pada suatu tengah malam yg lengang, aku pernah dibasahinya dengan air mata ketika ia sedang menangis menyesali perbuatan buruknya. Bukankah nabinya pernah berjanji, bahwa apabila ada seorang hamba kemudian bertobat, walaupun selembar bulu matanya saja yang terbasahi air matanya, namun sudah diharamkan dirinya dari ancaman api neraka

Maka saya, selembar bulu matanya, berani tampil sebagai saksi bahwa ia telah melakukan tobat sampai membasahi saya dengan air mata penyesalan." Dengan kesaksian selembar bulu mata itu, orang tersebut di bebaskan dari neraka dan diantarkan ke syurga. Sampai terdengar suara bergaung kepada para penghuni syurga:

"Lihatlah, Hamba Tuhan ini masuk syurga karena pertolongan selembar bulu mata."

=========================

MENINGGALKAN SUAP MENYUAP, PINTU REZEKI JADI TERBUKA

Written by Ummu Raihanah

Ada seorang kawan bercerita tentang seorang pedagang di Saudi Arabia. Pada awal dia meniti karir dalam bisnis dulunya dia bekerja disebuah pelabuhan di negeri ini. Semua barang-barang perniagaan yang akan masuk harus melalui dia dan mendapatkan tanda tangannya. Dia tidak suka kepada orang yang main kolusi dan suap menyuap. Tetapi dia tahu bahwa atasannya senang mengambil uang suap. Sampai akhirnya teman kita yang satu ini didatangi oleh orang yang memberitahukanya agar tidak terlalu keras dan mau menerima apa yang diberikan oleh penyuap untuk mempermudah urusannya.

Setelah mendengar perkataan tersebut, dia gemetar dan merasa takut. Lalu keluar dari kantornya, sementara kesedihan, penyesalan dan keraguan terasa mencekik lehernya. Hari-hari mulai berjalan lagi, dan para penyuap itu datang kepadanya. Yang ini mengatakan, ''Ini adalah hadiah dari perusahaan kami'' Yang satu lagi bilang, ''Barang ini adalah tanda terimakasih kami atas jerih payah anda''. Dan dia selalu mampu mengembalikan dan menolak semuanya. Tetapi sampai kapan kondisi ini akan tetap berlangsung?! Dia khawatir suatu waktu mentalnya akan lemah dan akhirnya mau menerima harta haram tersebut. Dia berada diantara dua pilihan; meninggalkan jabatannya dan gajinya atau dia harus melanggar hukum-hukum Allah Subhanahu Wata'ala dan mau menerima suap. Karena hatinya masih bersih dan masih bisa meresapi firman Allah Subahanahu Wata'ala:

''Dan, siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan menjadikan untuknya jalan keluar dan akan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya'' (At-Thalaq: 2-3)

Akhirnya dia memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Dia berkata, ''Tak lama setelah itu Allah mengkaruniakan untukku kapal kargo yang kecil. Akupun memulai bisnisku, mengangkut barang-barang. Lalu Allah mengkaruniakan kapal kargo yang lain lagi. Sebagian pedagang mulai memintaku untuk mengangkut barang-barang perniagaan mereka karena aku memang sangat hati-hati, seolah-olah barang itu milikku sendiri.

Diantara kejadian yang menimpaku adalah sebuah kapal kargoku menabrak karang dan pecah. Penyebabnya adalah karena sang nakhoda tertidur. Dia meminta maaf. Tanpa keberatan aku memaafkannya. Maka merasa heranlah seorang polisi lalu lintas laut karena aku begitu mudah memaafkan orang. Dia berusaha berkenalan denganku. Setelah berlangsung beberapa tahun, dia -polisi itu- bertambah tinggi jabatannya. Saat itu datang barang-barang perniagaan dalam jumlah besar. Dia tidak mau orang lain, dia memilihku untuk mengangkut barang-barang tersebut tanpa tawar menawar lagi.

Pembaca yang budiman, lihatlah bagaimana pintu-pintu rizki terbuka untuknya. Sekarang dia telah menadi saudagar besar. Kepedulian sosial dan santunannya bagi orang-orang miskin begitu besar. Begitulah barang siapa meninggalkan suatu perbuatan dengan ikhlas karena Allah niscaya Allah akan mengganti dengan yang lebih baik.

Semoga kisah nyata diatas dapat diambil hikmahnya dan sebagai pemacu semangat kita agar hati kita tidak was-was dan ragu-ragu lagi untuk segera kembali kepada Allah karena hanya dengan kembali kepada-Nya maka kita akan mendapatkan lindungan dan curahan rahmat-Nya.amiin.

==========================
KERJA HANYA SELINGAN
Oleh : Abang Eddy Adriansyah**

"Kerja itu cuma selingan, Ndra. Untuk menunggu waktu shalat..."

Ketika Pak Heru, atasan saya, memerintahkan untuk mencari klien yang bergerak di bidang interior, seketika pikiran saya sampai kepada Pak Azis. Meskipun hati masih meraba-raba, apa mungkin Pak Azis mampu membuat kios internet, dalam bentuk serupa dengan anjungan tunai mandiri dan dari kayu pula, dengan segera saya menuju ke bengkel workshop Pak Azis.

Setelah beberapa kali keliru masuk jalan, akhirnya saya menemukan bengkel Pak Azis, yang kini ternyata sudah didampingi sebuah masjid. Bengkelnya masih rumah kayu, masih seluas dulu, ketika pertama kali saya berkunjung ke sana. Pak Azispun tampak awet muda, sama seperti dulu. Masih dengan sigaret kreteknya, masih langsing dan tampak sehat, hanya pakaiannya yang sedikit berubah. Kali ini dia selalu memakai kopiah putih. Rautnya cerah, fresh, memancarkan kesan tenang dan lebih santai. Beungeut wudhu-an ( wajah sering wudhu), kata orang sunda. Selalu bercahaya.

Karena lama tidak bertemu, sebelum sampai ke pokok permasalahan, kami berbincang-bincang cukup lama. Dalam rentang tujuh tahun, ternyata banyak sekali proyek yang sudah Pak Azis kerjakan, bahkan kerja arsitekpun, yang sedikit berbeda dari bidang keahlian yang digelutinya tujuh tahun lalu, pernah juga ia garap. Salah satu merek pakaian muslim kenamaan, memercayakan pembangunan dan interior ruangan butiknya di seluruh kota besar Indonesia, kepada Pak Azis. Ornamen kayu di kubah Masjid Raya propinsi-pun merupakan buah karyanya. Yang agak surprise, ternyata Pak Azis juga yang menangani furniture dan interior untuk acara pengajian Ramadhan sebuah televisi swasta, yang menghadirkan seorang ulama kenamaan. Muncul pertanyaan di benak saya : karena kerap bersinggungan dengan kegiatan islamkah Pak Azis bisa tampak begitu tenang dan awet muda ?

Hidayah Allah ternyata telah sampai sedari lama, jauh sebelum Pak Azis berkecimpung dalam berbagai dinamika kegiatan Islam. Hidayah itu bermula dari peristiwa angin puting-beliung, yang tiba-tiba menyapu seluruh atap bengkel workshop-nya, pada suatu malam kira-kira lima tahun silam. "Atap rumah saya sampai tak tersisa satupun. Terbuka semua." cerita Pak Azis. "Padahal nggak ada hujan, nggak ada tanda-tanda bakal ada angin besar. Angin berpusar itupun cuma sebentar saja."

Batin Pak Azis bergolak setelah peristiwa itu. Walau uang dan pekerjaan masih terus mengalir kepadanya, Pak Azis tetap merasa gundah, gelisah, selalu tidak tenang. "Seperti orang patah hati, Ndra. Makan tidak enak, tidur juga susah, pokoknya persis seperti putus cinta."cerita Pak Azis lagi.

Lama-kelamaan Pak Azis menjadi tidak betah tinggal di rumah, merasa stres atas segala rutinitas pekerjaan, yang menurutnya seperti buang-buang waktu saja. Rutinitas kerja membuatnya selalu gugup, sehingga waktu terasa pendek, jadi sulit menikmati detik demi detiknya. Padahal, sebelum kejadian angin puting-beliung yang anehnya hanya mengenai bengkel workshop merangkap rumahnya saja, Pak Azis merasa hidupnya sudah sempurna. Dari desainer grafis dia bisa menjadi desainer interior, dari desainer interior dia bisa menjadi arsitek, dan dengan keserbabisaannya itu, berarti semua cita-citanya sudah berhasil dicapai. Pak Azis merasa puas dan bangga, karena menguasai banyak keahlian dan mempunyai penghasilan tinggi. Tapi setelah peristiwa angin puting-beliung itu, ketika kegelisahan kembali menghinggapi dirinya, Pak Azis kembali bertanya : apa sih yang kurang ?

"Seperti musafir atau walisongo, saya kemudian mendatangi masjid-masjid di malam hari. Semua masjid besar dan beberapa masjid di pelosok Bandung ini, sudah pernah saya inapi." Setahun lebih cara tersebut ia jalani, sampai kemudian akhirnya Pak Azis bisa tidur normal, bisa menikmati pekerjaan dan keseharian seperti sediakala.

"Bahkan lebih tenang dan santai daripada sebelumnya."

"Lebih tenang ? Memang Pak Azis dapet hikmah apa dari tidur di masjid itu ?"

"Di masjid itu 'kan tidak sekedar tidur, Ndra. Kalau ada shalat malam, kita dibangunkan, lalu pergi wudhu dan tahajjud. Sebab terbiasa, tahajjud juga jadi terasa enak. Malah nggak enak kalau tidak shalat malam, dan shalat-shalat wajib yang lima itu jadi kurang enaknya, kalau saya lalaikan. Begitu, Ndra."

"Sekarang tidak pernah terlambat atau bolong shalat-nya, Pak Azis ?"

"Alhamdulillah. Sekarang ini yang saya anggap utama itu adalah shalat. Jadi, saya dan temen-temen kerja itu cuma sekedar selingan saja."

"Selingan ?"

"Ya, selingan yang berguna. Untuk menunggu kewajiban shalat, Ndra."

Untuk beberapa lama saya terdiam, sampai kemudian adzan ashar mengalun jelas dari masjid samping rumah Pak Azis. Pak Azis mengajak saya untuk segera pergi mengambil air wudhu, dan saya lihat para pekerjanyapun sudah pada pergi ke samping rumah, menuju masjid. Bengkel workshop itu menjadi lengang seketika. Martil, pahat, diletakkan begitu saja disamping pekerjaan yang belum selesai atau rautan-rautan kayu. Sambil memandang seluruh ruangan bengkel, sambil berjalan menuju masjid di samping workshop, terus terngiang-ngiang di benak saya : "Kerja itu Cuma selingan, Ndra. Untuk menunggu waktu shalat..."

Sepulangnya dari tempat workshop, sambil memandang sibuknya lalu lintas di jalan raya, saya merenungi apa yang tadi dikatakan oleh Pak Azis. Sungguh trenyuh saya, bahwa setelah perenungan itu, saya merasa sebagai orang yang kerap berlaku sebaliknya. Ya, saya lebih sering menganggap shalat sebagai waktu rehat, cuma selingan, dan ada kecenderungan saya lebih mementingkan pekerjaan. Kadang-kadang waktu shalat dilalaikan sebab pekerjaan belum terselesaikan, atau rapat dengan klien dirasakan tanggung untuk diakhiri. Itulah penyebab dari kegersangan hidup saya selama ini. Saya lebih semangat dan habis-habisan berjuang meraih dunia, daripada mempersiapkan bekal terbaik untuk kehidupan kekal di akhirat nanti. Saya lupa, bahwa shalat adalah yang utama. Yang pertama diperiksa dalam pengadilan mahsyar, dimana nasib setiap anak manusia ditentukan pahit dan manisnya.

*Seperti Dituturkan Oleh Hendrayana
**Pemimpin Redaksi CyberMQ

Sumber Tulisan : internet...

Nasehat untuk ananda : "CINTAILAH YANG DICINTAI ALLAH"

Oleh: Ferina Widodo (Fefe mantan artis Elfa’s Singer dan Lenong Rumpi )

Assalamu'alaikum anakku sholehah...
Seandainya mama dulu sudah lebih mengerti ilmu-ilmu Allah seperti sekarang ini,
mungkin mama tidak akan mengalami kesalahan2 masa lalu pandangan dalam pergaulan saat mama remaja dulu,meskipun waktu itu menurut mama semua sudah baik-baik saja.
Tapi ternyata,banyak langkah yang masih salah dipijak,sudah banyak pendapat orang tua yang sempat ditentang,karena kami dulu merasa benar dan baik-baik saja!
Oleh karena itu,anakku sayang,mama ingin ananda memahamiapa yang diperintahkan Allah untuk dipatuhi dan diyakini akan membawa KEBAHAGIAAN dunia dan akherat untuk ananda.
sehingga,ananda tidak membuang waktu dengan percuma hanya karena "salah cara mencintai seseorang pujaan hati"!

Anakku,belajarlah mencintai seseorang yang baik menurut 'syari'at',
belajarlah mencintai seseorang yang dia begitu mencintai Allah,
belajarlah mencintai seseorang yang dipilihkan Allah untukmu,
yang memenuhi kriteria agama Islam,Al Quran & Hadits,
belajarlah mencintai seseorang yang bertanggung jawab kepada Allah.

jika kau mencintai fisik yang menawan wajah yang rupawan,semoga itu bukanlah hanya memenuhi 'nafsu hati saja',
karena belum tentu orang itu bisa membahagiakanmu dunia & akherat,tentu ia pun tidak akan membawa berkah bagi keluarga yang kalian bangun kelak.

Itulah sebabnya,mengapa banyak orang tua muslimah mencarikan jodoh bagi putrinya,se mata2 untuk menghindari 'zinah' dan hal2 buruk yang dapatmenghancurkan pahala akherat bagi anaknya.

Untuk apa kita puas berpasangan dengan 'idaman hati',kalau ternyata akhirnya orang tersebut hanya menyukai kita secara fisik?
tapi tidak menjadi pemimpin dan pembimbing yang sesuai syari'at bagi istrii dan anak2nya.
Dalam pergaulan se hari2 dimasa remaja ini,mohonlah selau RIDHO ALLAH.
Karena yang ananda kagumi secara fisik dan duniawi kadang merupakan hasil godaan syaitan semata,hasil dari 'zinah mata',
yang ananda khayalkan dan impikan seolah-olah ananda pasti akan bahagia jika hidup bersamanya,biasanya hasil dari 'zinah fikiran' saja.
Na'udzubillah.....

Anakku sayang,
Hidup ini hanya sementara.Sedangkan pernikahan adalah SUMPAH kita kepada ALLAH,dan disaksikan para malaikat!

Oleh karena itu,bergaullah dengan orang2 sholeh,pilihlah orang sholeh menjadi pendamping hidupmu kelak,
orang yang di pilihkan ALLAH untukmu,yang diridhoi orang tuamu.
Kuatkanlah permohonanmu dalam ibadah kepadaNYA supaya kau temukan jawabannya.
Jika kau tidak mencintainya hanya karena ia tidak tampan,
belajarlah mencintainya karena Allah mencintai hambanya bagaimanapun ia adanya!

Berdoalah selalu agar Allah menumbuhkan cintamu untuknya.
Jika ibumu ridho,tentu Allah akan meridhoi,karena ridho Allah adalah ridho orang tua yang soleh.

Sekali lagi,renungkanlah,Belajarlah mencintai orang sholeh yang dipilihkan Allah untukmu,
Yakinlah Allah akan selalu melindungimu dari segala godaan dunia ini.Doa mama selalu untukmu dalam setiap langkah dan nafasmu.
Amin Ya Robbal alamin...

Senin, 18 Januari 2010

Aku Cinta Kamu...

(kiriman seorang sahabat lewat fb, thanks kirimanya)

Berapa kali Anda mengucapkan kalimat itu kepada istri Anda dalam sehari? Saya jelas tidak bisa menebaknya. Tapi beberapa orang suami atau istri mungkin bertanya: perlukah kata itu diucapkan setiap hari? Apa yang mungkin ‘dilakukan’ kalimat itu, dalam hati seorang istri, bila itu diucapkan seorang suami, pada saat anak ketiganya menangis karena susunya habis? Ada juga anggapan seperti ini, kalimat itu hanya dibutuhkan oleh mereka yang romantis dan sedang jatuh cinta, dan itu biasanya ada sebelum atau pada awal-awal pernikahan. Setelah usia nikah memasuki tahun ketujuh, realita dan rutinitas serta perasaan bahwa kita sudah tua membuat kita tidak membutuhkannya lagi.

Saya juga hampir percaya bahwa romantika itu tidak akan akan bertahan di depan gelombang realitas atau bertahan untuk tetap berjalan bersama usia pernikahan. Tapi kemudian saya menemukan ada satu fitrah yang lekat kuat dalam din manusia bahwa sifat kekanak kanakan —dan tentu dengan segala kebutuhan psikologisnya—tidak akan pernah lenyap sama sekali dan kepribadian seseorang selama apapun usia memakan perasaannya. Kebutuhan anak-anak akan ungkapan ungkapan verbal yang sederhana dan lugas dan ekspresi rasa cinta itu sama-sama dibutuhkan dan tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa yang satu Iebih dibutuhkan dan yang lain.

Perasaan manusia selamanya fluktuatif. Demikian pula semua jenis emosi yang dianggap dalam perasaan kita. Kadar rasa cinta, benci, takut, senangdan semacamnya tidak akan pernah sama dari waktu ke waktu. Tetapi yang mungkin terasa sublim adalah bahwa fluktuasi perasaan itu sering tidak disadari dan tidak terungkap atau disadari tapi tidak terungkap.

Situasi ini kemudian mengantar kepada kenyataan lain. Bahwa setiap kita tidak akan pernah bisa mengetahui dengan pasti perasaan orang lain terhadap dirinya. kita mungkin bisa menangkap itu dan sorotan mata, gerak tubuh dan perlakuan umum, tapi detil perasaan itu tetap tidak tertangkap selama ia tidak diungkap seeara verbal.

Perlukah detail perasaan itu kita ketahui, kalau isyarat isyaratnya sudah terungkap? Mungkin ya mungkin tidak. Tapi yang pasti bahwa kita semua, dan waktu ke waktu, membutuhkan kepastian. Kepastian bahwa kita tidak salah memahami isyarat tersebut. Bukankah kepastian juga yang diminta Nabi Ibrahim ketika beliau ingin menghidupkan dan mematikan?

Dan suasana ketidakpastian itulah biasanya setan memasuki dunia hati kita. Karena salah satu misi besar setan, kata Ibnul Qoyyim al Jauziyyah adalah memisahkan orang yang saling mencintai “Dan mereka belajar dan keduanya sesuatu yang dengannya mereka dapat memisahkan seseorang dan pasangannya.” (QS.2:102)

Dari ‘bab’ inilah ungkapan verbal berupa kata menemukan maknanya. Bahkan sesungguhnya ada begitu banyak kekurangan dalam perbuatan yang beban psikologisnya dapat terkurangi dengan kata. Ketika Anda menolak seorang pengemis karena tidak memiliki sesuatu yang dapat Anda sedekahkan, itu tentu sakit bagi pengemis itu. Tapi Allah menyuruh kita ‘mengurangi’ beban sakit itu dengan kata yang baik. Bukankah “perkataan yang baik lebih baik dan sedekah yang disertai cacian?”

******

Selanjutnya, perhatikan riwayat berikut ini: Suatu ketika seorang sababat duduk bersama Rasulullah saw. Kemudian seorang sahabat yang lain berlalu di depan mereka. Sahabat yang duduk bersama Rasulullah saw. itu berkata kepada Rasulullah saw.

“Ya Rasulullah, sesungguhnya aku mencintai orang itu.

“Sudahkah engkau menyatakan cintamu padanya?” tanya Rasulullah saw.

“Belum, ya Rasululllah.” kata sahabat itu.

“Pergilah menemui orang itu dan katakan bahwa karena kamu mencintainya,” kata Rasulullah saw

Jika kepada sesama sahabat,saudara atau ikhwah rasa cinta harus diungkapkan secara verbal, dapatkah kita membayangkan, seperti apakah verbalnya ungkapan rasa cinta yang semestinya kita berikan kepada istri kita? Apakah makhluk yang satu itu, yang mendampingi kita lebih banyak dalam saat-saat lelah dan susah dibanding saat-saat suka dan lapang, tidak lebih berhak untuk mendengarkan ungkapan rasa cinta itu?

Sekarang simak kisah Aisyah berikut ini:

Aisyah seringkali bermanja-manja kepada Rasulullah SAW. karena hanya dialah satu—satunya istri beliau yang perawan. Tapi, suatu waktu Aisyah masih bertanya juga kepada Rasulullah saw:

Jika engkau turun di suatu lembah lalu engkau lihat di situ ada rumput yang telah dimakan —oleh gembala lain— dan ada rumput yang belum dimakan, di rumput ,manakah gembalamu engkau suruh makan?”

Maka Rasulullah saw. menjawab,

Tentulah pada rumput yang belum dimakan (gembala lain). (HR. Bukhari).

Apakah Aisyah tidak tahu bahwa Rasulullah saw. sangat dan sangat mencintainya? Tentu saja tahu. Bahkan sangat tahu. Tapi mengapa ia masih harus bertanya dengan ‘metafor’ seperti di atas, dengan menonjolkan keperawanannya sebagai kelebihan yang membuatnya berbeda dan istri-istri Rasulullah saw. lainnya?

Apakah ia ragu? Saya tidak yakin kalau itu dirasakan Aisyah. Ia—dalam konteks hadits tadi— rasanya hanya menginginkan kepastian lebih banyak, peneguhan lebih banyak. Karena kepastian itu, karena peneguhan itu, memberinya nuansa jiwa yang lain; semacam rasa puas — dari waktu ke waktu— bahwa ‘lebih’ dan istri-istri Rasulullah saw yang lain, bahwa ia lebih istimewa.

Di tengah kesulitan ekonomi seperti sekarang, tidak banyak di antara kita yang sanggup memenuhi kebutuhan-kebutuhan rumah tangga secara ideal. Dan dalam banyak hal kita mungkin perlu untuk lebih ‘tasamuh’ (Toleransi/lapang dada) dalam memandang hubungan ‘hak dan kewajiban’ yang sering kali menandai bentuk hubungan kita secara harfiah. Atau mungkin mengurangi efek psikologis yang ditumbuhkan oleh ketidakmampuan kita memenuhi semua kewajiban dengan ‘kata yang baik.

Anda mungkin sering melihat betapa lelahnya istri Anda menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah. Mulai dari memasak, mencuci sampai menjaga dan merawat anak. Kerja berat itu sering kali tidak disertai dengan sarana teknologi yang mungkin dapat memudahkannya. Setan apakah yang telah meyakinkan kita begitu rupa bahwa rnakhluk mulia yang bernama istri saya atau istriAnda tidak butuh ungkapan “I love,you” karena ia seorang ‘da’iyah’, karena ia seorang ‘mujahidah’ atau karena kita sudah sama-sama tahu, sama-sama paham, atau karena kita sudah sama-sama tua dan karenanya tidak cocok menggunakan cara ‘anak-anak muda’ menyatakan cinta? Setan apakah yang telah membuat kita begitu pelit untuk memberikan sesuatu yang manis walaupun itu hanya ungkapan kata? Setan apakah yang telah membuat kita begitu angkuh untuk mau merendah dan membuka rahasia hati kita yang sesungguhnya dan menyatakannya secara sederhana dan tanpa beban?

Tapi mungkin juga ada situasi begini. Anda mencintai istri Anda. Anda juga tidak terhambat oleh keangkuhan untuk menyatakannya berluang-ulang. Masalahnya hanya satu, Anda tidak biasa melakukan itu. Dan itu membuat Anda kaku.Jika Anda termasuk golongan ini, tulislah pula puisi S Djoko Damono ini dan berikanlah ia kepada istri Anda melalui putera atau puteri terakhir Anda.

Aku Ingin

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana :
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana :
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Dikutip dari Buku “Biar Kuncupnya Mekar Jadi Bunga”
Oleh Muhammad Anis Matta (Direktur LPI Al Manar Jakarta)


Apa pendapatmu tentang orang-orang yang tak pernah kau jumpai samasekali, namun begitu matamu bertemu dengan paras mereka, jiwamu melonjak dan kau tahu entah di kehidupan mana, kalian pernah bersua dan hati kalian menyatu?

Apa pendapatmu tentang orang-orang yang dengannya engkau menjadi hangat, dan saat mendengar tawa dan suara mereka, engkau menemukan jalan pulang ke rumah?

Apa pendapatmu tentang mereka yang mampu membuatmu merasa nyaman, bukan oleh indahnya kata-kata maupun eloknya tingkah laku, melainkan tindakan sesederhana bertatap dalam hening dan bercakap ringan tanpa isi, namun jiwamu beriak menyambut gelombang yang ditangkap indera dengarmu?

Apa pendapatmu tentang mereka, yang entah dengan cara bagaimana, telah menciptakan percikan di hatimu sejak pertama bertemu, walau engkau berjumpa mereka dalam kondisi terburuk dimana jiwamu nyaris patah dan yang tersisa dari tampak luarmu hanya sebentuk kekacauan?

Apa pendapatmu tentang semua hal yang disebut jalinan jiwa, reaksi kimiawi, dan hati yang melebur harmonis, yang kau dapati ketika pandangan kalian bersua?

Apa pendapatmu tentang mereka yang sanggup merebut hatimu tanpa perlu berupaya, karena jiwa kalian telah mendahului menjemput dan memagut?

Apa pendapatmu tentang mereka yang kau tatap matanya, kau dengar suaranya, kau cermati lakunya, kau simak gelaknya, dan seketika menumbuhkan cinta di hatimu?

Apa pendapatmu tentang mereka yang selalu berhasil menabur sejuk di jiwamu, bahkan ketika engkau kerontang dan meranggas?

Apa pendapatmu tentang mereka yang dapat selalu kau percayai, bahkan ketika kau mengungkap rahasia-rahasia tergelap yang tak pernah berani kau bagi kepada dunia?

Apa pendapatmu tentang mereka yang tak ragu mengembangkan tangan untuk menyambutmu dalam pelukan tanpa banyak bertanya, karena mereka tak memerlukan penjelasan untuk bisa memahamimu?

Apa pendapatmu tentang mereka yang kau tahu akan selalu menyimpan cinta bagimu, dan tak pernah alpa menyediakan sebuah ruangan di hati khusus untukmu?

Apa pendapatmu tentang mereka yang tak membutuhkan kalimat-kalimat curhat untuk bisa memahami dan menerimamu tanpa syarat serta senantiasa siap mendukungmu, apapun jalan yang kau pilih?

Apa pendapatmu tentang mereka yang kehadirannya sanggup memunculkan permata dalam dirimu? Mereka cukup ada, tanpa banyak usaha, dan kau terpukau mendapati jiwamu mampu memancarkan cahaya lebih dari yang kau tahu.
Apa pendapatmu tentang mereka yang selalu membuatmu tersenyum damai tatkala mengingat wajah atau sekadar mendengar nama mereka disebut?

Mungkin… sahabat hati.

:-)
*Dipersembahkan untuk sahabat-sahabat tersayang, pelita yang selalu menerangi lubuk terdalam jiwa. Terima kasih telah menjadi mutiara pembingkai hati. Kalian tahu, kalian akan abadi. Dalam jiwa saya.

Minggu, 17 Januari 2010

Bersahabat dengan Mertua....??? Yuuuuuk....!!!!!

Sebelum menikah, saya sering mendengar banyak orang bercerita tentang mertua mereka. Setelah menikah, makin banyak lagi cerita-cerita seperti itu saya dengar. Ya, apalagi kalau bukan soal interaksi antara menantu dan mertua!

Seorang ibu yang masih kerabat jauh pernah bercerita pada saya tentang menantunya. “Dulu waktu belum dapat anak saya, dia baiiiiiik sekali. Ramah, suka senyum, suka cerita. Kalau datang selalu ada saja yang dibawa. Bukannya saya mengharap, tapi dia betul-betul perhatian. Dia juga rajin telepon, memperhatikan saudara-saudara…,” cerita si Ibu. Saya mendengarkan seksama.

“Eh pas udah dapat anak saya, dia berubah! Kalau ngomong ketus, nyelekit. Terus kalau anak saya beliin saya apa-apa, dia juga ngotot minta dibelikan. Anak saya harus ngumpet-ngumpet kalau mau kasih uang sama saya. Dia juga tidak mau kalau saya tinggal bersama mereka….”

Cerita Tiwik, teman saya, lain lagi. “Mertua saya itu orangnya dominan. Maunya menguasai. Jadi meski kami sudah menikah sekian lama, semuanya Ibu mertua saya yang mengatur. Kami mau tinggal dimana, ngontrak atau beli rumah juga dia yang menentukan. Saya jadi kesal. Suami seolah tak berdaya kalau di hadapan ibunya. Pokoknya ibunya bilang apa, dia nurut. Ibunya juga turut campur dalam mendidik anak kami. Apa yang saya larang, ia perbolehkan. Apa yang saya perbolehkan untuk anak-anak, ia larang. Kan kasihan anak-anak saya jadi bingung. Udah itu saya merasa ia benar-benar nggak percaya sama saya…. Pokoknya yang paling bagus dan mengerti apa saja di dunia ini ya cuma dia!”

“Kalau saya lain lagi,” tutur Ira, teman saya yang juga sahabat Tiwik. “Ibu mertua saya sangat perfeksionis tapi pelitnya luar biasa. Udah gitu, dia selalu bilang saya pelit. Di depan anaknya ia ngomong gini, tuh kan nak, coba kalau kamu belum menikah, kamu bisa lebih memperhatikan dan membiayai ibu dan adik-adikmu…, sedih kan?” Mata Ira memerah.

“Kalau yang saya alami lebih gila,” kata Indah dengan suara serak. “Kalau di depan anaknya, mertua sangat baik pada saya. Tapi begitu di belakang suami, waduh ampun deh.
Kata-katanya nyelekit dan suka sekali menyindir. Ia suka mengadu domba saya dan suami. Ia juga sering mengobral cerita apa saja yang memalukan tentang saya. Padahal saya kan menantunya sendiri. Kok tega ya?”

Saya jadi teringat masa-masa awal saya bertemu Mas Tomi. Saya tahu ia pasti sangat mencintai ibunya. Dan bagi saya, mencintai Mas Tomi berarti mencintai Ibu, adik-adik, keluarga besarnya....

“Ceritakan pada saya tentang Ibu…,” pinta saya.

Sambil terenyum ia menceritakan banyak hal tentang Sang Ibu. Seorang perempuan tradisional yang lembut, sangat perasa dan betul-betul menikmati peran sebagai ibu rumah tangga. Beliau jago memasak, pintar menjahit, ahli dalam mengurus taman dan kebun di belakang rumah mereka. “Ibu punya koleksi anggrek yang cantik, juga beternak gurame kecil-kecilan di rumah,” kata Mas.

Hmmm menarik, pikir saya. Perempuan hebat.

“Ibu sangat njawani,” tambah Mas.

Dalam hati, saya menambahkan: Itu berarti saya harus memperhatikan perbedaan kultur di antara kami. Saya yang Sumatera, Ibu yang sangat Jawa (Ibu dari Yogyakarta, Bapak Mas dari Solo, namun sudah meninggal ketika Mas kuliah tingkat III). Saya bertekad, dalam pertemuan pertama dan selanjutnya, saya akan menampilkan diri saya sebagaimana adanya, dengan tetap menghormati kultur beliau. Apalagi nih, Mas Tomi itu anak pertama, tulang punggung keluarga. Pasti banyak harapan ibu bertumpu padanya.

Begitulah. Sebelum bertemu untuk pertamakalinya dengan Ibu Mas Tomi, saya sudah mulai menitipkan salam. Saya kirimkan bahan yang saya pilih sendiri untuk beliau. Kadang oleh-oleh lainnya.

Ketika akhirnya bertemu, kami berdua tahu bahwa kami adalah dua pribadi yang sangat bertolak belakang. Tetapi apakah itu membuat kami tak bisa cocok?

“Ibu baik, tapi bukan tipe orang yang mudah mengekspresikan perasaannya. Bahkan bila ia menyayangi seseorang,” kata Mas pada saya.

Karena Ibu Mas Tomi memang cenderung pendiam, maka saya mencoba lebih aktif mendekati beliau. Pada pertemuan pertama misalnya, saya merangkulnya sambil berkata, “Ibu, nanti kalau aku nikah sama Mas, aku tidak akan menganggap ibu sebagai mertuaku….”

Ibu mengerutkan keningnya. “Kenapa?” Tanya beliau tak mengerti.

“Saya rangkul beliau lebih erat, “Ya, sebab aku akan menganggap Ibu sebagai ibuku sendiri! Pokoknya, Ibu bertambah anak, aku bertambah Ibu!”

Kami berdua tersenyum.

Setelah saya dan Mas menikah, saya berusaha memberi atensi sebisa saya pada Ibu. Mulai dari hal-hal kecil membawakannya sesuatu setiap kami mengunjunginya (bukan soal harga, tapi perhatian), hingga mengingat momen-momen penting dalam hidup Ibu. Saya pun berinisiatif membenahi semua album keluarga mereka—terutama saat bersama almarhum Bapak---agar tersusun lebih rapi dan terhindar dari jamur.

Ibu sering sekali memberi masukan, terutama soal kepiawaian sebagai istri dan bagaimana mendidik anak. Tahu sendiri, saya sama sekali tak pintar masak seperti ibu. Barangkali saya juga tak setelaten beliau dalam mengurus anak dan semacamnya. Setidaknya begitulah saya dalam pandangan Ibu.

Seringkali saya merasa sudah melakukan sesuatu secara maksimal, namun seolah masih saja “salah” di mata ibu.. Awalnya hal itu membuat saya sedikit “geregetan”, agak tersinggung dan sedih…, sering saya berusaha menyampaikan apa yang sudah saya lakukan yang saya rasakan baik padanya. Saya bahkan memberikan argumen terbaik yang saya miliki hingga Ibu hanya menjawab, “O…begitu….”

Namun lama kelamaan, saya pikir kenapa sih saya? Apa sih gunanya “melawan” ibu, menganggap saya sudah melakukan semua dengan baik. Memang apa salahnya kalau Ibu menasehati panjang lebar, lalu saya tinggal tersenyum, berterimakasih dan bilang, “Ya, Ibu. Saya akan coba, atau saya akan melakukan saran Ibu. Terimakasih ya, Bu….” Bukankah kalau ibu menasehati berarti ibu sedang memperhatikan saya. Bukankah memperhatikan berarti bentuk dari sebuah cinta?

Akhirnya itu yang saya lakukan, dan ternyata asyik!

“Terimakasih, Bu. Saya senang sekali dapat pengetahuan baru.”
“Alhamdulillah Ibu memberi tahu, jadi lain kali aku bisa lebih baik….”
“Terus, kalau kasusnya begini, baiknya aku bagaimana ya, Bu?”
“Wah Bu, saran dari Ibu aku pakai. Alhamdulillah Bu, berhasil!”

Saya juga yang selalu mengingatkan Mas bila ia sibuk dan kami lama tak mengunjungi Ibu di Sukabumi. “Mas, minggu depan ke Sukabumi yuk. Kan kita dah kangen sama Ibu….”
Selain itu kami sepakat, kalau mau ngasih sesuatu untuk ibu Mas, sayalah yang melakukan, dan kalau mau ngasih sesuatu ke mama saya, Mas yang akan memberikannya...

Lambat laun saya merasa ibu makin sayang pada saya. Ibu bahkan mulai mengurangi memberi tahu saya apapun dengan gaya para mertua pada umumnya. Ibu mulai menjadikan saya sahabat tempat curhat beliau mengenai apa saja! Kami sering menangis dan tertawa bersama. Alhamdulillah. Saya bahagia sekali.

Saya jadi ingat beberapa kali saya mendapat hadiah usai mengisi ceramah di berbagai tempat. Selain uang, kadang saya diberi peralatan rumah tangga, bahan, atau souvenir lain yang menarik. Biasanya kalau ada dua macam, pasti saya minta Ibu mertua saya untuk memilihnya lebih dulu, baru kemudian Mama. Mengapa?

“Mama kan masih ada Papa. Papa bisa belikan Mama yang lebih bagus…. Ibu kan sudah nggak ada Bapak? Nggak apa ya, Ma?” kata saya pada Mama.

Di luar dugaan, Mama memeluk saya dan mengatakan bangga sekali punya anak seperti saya. Mama bahkan bilang tak akan pernah iri pada apa yang saya lakukan terhadap Ibu.

Begitulah. Saya merasa saya memang tak memiliki dan tak memerlukan seorang Ibu mertua. Ibu dari suami saya adalah Ibu, adalah sahabat saya. Dan oh, sungguh kangen, bila sebulan saja tak bertemu beliau setelah 14 tahun perkenalan kami.

I love you much, Bu!

Bunda, engkau adalah nadi di denyut kehidupanku. Engkau adalah sekolah pertamaku, juga universitas terpadu dalam menimba ilmu.

Bunda, engkau mata air cinta yang tak pernah kering. Kau bimbing aku mengasihi yang ada di langit, juga semua yang pernah singgah di bumi. Perkataanmu selalu kuingat: “ Nak, manusia yang paling sukses adalah yang bermanfaat bagi orang banyak.”

Bunda, engkau adalah motivator yang tak pernah menyerah. Engkau terus mendorongku untuk mengambil peran-peran protagonis dalam kehidupan. Engkau memotivasi aku untuk menggerakkan, bukan menunggu digerakkan.

Suatu hari engkau berkata, “Jangan pernah berhenti membaca dan menulis, anakku.”

Aku bertanya, “Apa yang harus aku baca Bunda? Apa yang mesti kutulis?”

“Bacalah dirimu sendiri, keluargamu, sekitar, masyarakat, rupa, cuaca, semesta dan segala. Dan tulislah semua yang menyentuh nuranimu,” katamu. Engkau bimbing aku untuk tak hanya menulis di atas selembar kertas putih, namun pada akal dan hati yang paling bersih.

Bunda. Engkaulah yang dengan mata kaca mengecup semua luka yang datang, sambil membangun benteng ketabahan dalam diriku. Di kala sukses menjelang, engkau mengingatkanku untuk rendah hati serta tak lupa pada mereka yang lemah dan tertinggal di belakang. Engkaulah yang selalu terbangun di tengah malam, menjaga keluarga dan semesta dengan doa-doa.

Ah, bagaimana aku bisa semulia engkau, Bunda?

Kini waktu berlalu. Aku pun tumbuh menjadi ibu sepertimu. Sungguh, bunda, akan kudidik buah hatiku sebagaimana kau membimbingku. Bukankah aku sudah hafal rumus dalam kamusmu? Mengasihi, terus belajar, kreatif, mengambil peran protagonis dan bermanfaat bagi orang banyak.

Bundaku, perempuan tempat cinta dan ketangguhan lahir setiap hari. Bahkan berjuta kata tak akan bisa merangkaikan kekagumanku padamu.

Terimakasih, cinta abadiku: bunda…

Cinta Sejati Itu, Anakku...

Suatu hari, anakku, kau bertanya, Bunda, mengapa sebuah pernikahan bisa bertahan, dan mengapa yang lain gagal?

Maka aku pun menjawab, pernikahan yang terus bertahan dan yang tidak bertahan hanya disebabkan oleh nyala cinta. Yang bertahan terus membarakannya dengan amunisi makrifah, gairah dan kesetiaan sepanjang jiwa. Sedang yang tak bertahan membiarkan nyala itu padam bersama redupnya makrifah, gairah dan kesetiaan di antara mereka.

Jika kau mencintai seseorang, kau akan menaruhnya di tempat paling nyaman di hatimu, hingga setiap kali ia menatap matamu, ia temukan dirinya berpijar di sana. Kau tak akan pernah lelah belajar mengenali diri dan jiwanya hingga ke sumsum tulang. Hidupmu penuh gairah, tak abai sekejap pun atas keberadaannya. Maka sampailah kau pada keputusan itu: kau akan setia pada tiap nafas, getar, gerak saat bersamanya, hingga nyawa berpamitan untuk selamanya pada jasadmu. Bahkan kau masih berharap semua tak akan pernah tamat. Kau mendambakan hari di mana kau dan dia kelak dibangkitkan kembali sebagai pasangan, yang terus bergandengan tangan melintasi jalan-jalan asmara, di taman surgaNya...

Itulah cinta sejati, anakku...

Sumber : http://helvytr.multiply.com/journal?&=&page_start=200

Istri untuk Suamiku

(kiriman Ustd. Vicky)

Malam itu tak ada yang istimewa kecuali tatapanku pada sesuatu yang cukup menyedot seluruh isi jiwaku. Ya, suamiku berpamitan untuk memasuki kamar pengantinnya sambil mengatakan, "Titip anak-anak, ya Mi!" Tangisku pun meledak saat itu juga. Sakit sekali. Dan aku pun terbangun sambil menangis dengan air mata berderai ditingkahi dengan ekspresi kebingungan suamiku.

Ini adalah sepenggal mimpi yang kualami pada malam ketujuh pernikahanku. Bagi sebagian orang, mimpi hanya dianggap sebagai bunga tidur. Bagi seorang mukmin mimpi baik adalah dari Allah dan mimpi buruk dari setan. Bagiku, sulit untuk mengklasifikasikannya sebagai mimpi baik atau buruk.

Suatu saat di sebuah forum ta’aruf, pihak ikhwan menanyakan pandangan sang ukhti tentang poligami. Di luar dugaan akhwat yang sudah lama tertarbiyah itu menjawab dengan mantap, "Langkahi dulu mayatku!" Di kesempatan lain ada umahat yang ditanyai suaminya, "Gimana kalau Abi nikah lagi?" Dengan kalem isterinya menjawab, " Enakan gini ajalah, Bi!"

Poligami! Mungkin ini kata yang paling ditakuti oleh sebagian besar wanita. Dan membaca judul di atas lebih banyak wanita yang mengucap na’udzubillah daripada insya Allah. Memang harus diakui, ketakutan ini pun ternyata juga melingkupi kalangan da’iyah alias aktivis dakwah. Wajar memang. Karena, rasa cinta sering membuat kita tidak ingin berbagi, apalagi berbagi suami.

Pernah di suatu majalah, termuat tulisan seorang umahat yang suaminya baru saja meninggal: hati saya yang sedih bertambah sakit melihat sikap umahat lain yang kelihatan sudah mulai was-was kalau suami mereka nanti akan menikahi saya.

Dalam hidup ini kita dibebani untuk beribadah dan jadi khalifah. Dua tugas yang akan memuliakan, siapa pun yang berani dan sanggup memperjuangkannya. Termasuk dalam hal ini masalah poligami. Membayangkan suami menikah lagi saat kita masih hidup adalah sesuatu yang mengerikan. Minimal, tidak menyenangkan. Apa kata orang tua, tetangga, kerabat. Hal ini wajar, karena kesan poligami di masyarakat kita masih sangat negatif. Tapi, hukum Allah tidak akan berubah. Poligami diperbolehkan, artinya tidak dilarang walaupun juga tidak dianjurkan. Menjaga batas bahwa ini diperbolehkan, itulah yang tidak mudah.

Sering tanpa sadar, kita telah membuat hukum poligami menjadi haram. Minimal, makruh dengan berbagai alasan. Sehingga, bila hal itu dialami oleh sebagian dari kita, kita merasa perlu untuk turut berduka cita.

Kisah yang luar biasa saya dapatkan ketika seorang umahat dari kota gudeg melepas suaminya menikah lagi. Saat tamu-tamu umahat menyalaminya dengan tangis di wajah, maka dia malah bertanya: "Kenapa menangis? Padahal, ini adalah momen yang membahagiakan?" Subhanallah, inilah jawaban yang menunjukkan kejujuran iman.

Bicara mengenai poligami dalam aplikasinya yang `nyunnah‘, saya kira tidak ada masalah.

Dalam hal ini tidak ada yang menyakiti dan disakiti. Tapi, ini hanya bisa terwujud bila ketiga belah pihak menempatkan diri sesuai dengan porsinya masing-masing. Dan, porsi di sini adalah syariat Allah. Ini tidak mudah, kecuali bila lapang dada Allah karuniakan pada semua pihak yang terlibat di dalamnya. Lurusnya niat untuk semata-mata memohon kebaikan di dunia, akhirat, serta dakwah, juga sangat menentukan keberkahan dari keputusan untuk berpoligami.

Kembali ke mimpi saya. Dari tujuh hari pernikahan sampai memasuki tahun ketujuh. Dari hidup berdua, sampai hidup berlima dengan tiga buah hati. Waktu yang cukup lama untuk belajar tentang banyak hal, terutama belajar bagaimana mencintai. Belajar untuk terus menambah rasa syukur atas kesempatan yang Allah berikan berupa karunia pendamping yang shaleh. Belajar bahwa mencintai adalah keinginan untuk membahagiakan dan bukan sekadar keinginan untuk memiliki. Belajar bahwa was-was dan khawatir tentang apa pun yang akan terjadi adalah tipu daya setan. Maka, ketenangan pun merasuki seluruh jiwa dan raga.

Bila tahun-tahun awal pernikahan, canda suami tentang poligami selalu mendapat reaksi marah dan sedih. Terlepas, dari teori Ustadz Cahyadi, bahwa bila suami sering mengajak bicara soal poligami sebenarnya dia tidak benar-benar ingin melakukannya. Dan sebaliknya, jika suami jarang membicarakannya, kemungkinan besar dia malah benar-benar menginginkannya.

Saat ini, saya berharap bisa menjawab dengan arif, "Insya Allah, kalau itu akan membahagiakanmu dan akan menambah kecintaan Allah pada kita, maka aku jadi orang pertama yang akan mendukungmu untuk berpoligami." –wallahu’alam

Kamis, 14 Januari 2010

catatan Kecil Penuh Cinta...Teruntuk Para Suami dan Istri...

Saat ku sentuh jemarimu dengan mesra


Duhai Allah,
Airmata itu pernah tumpah, deras bercucuran
Luruh dalam isakan, menyayat kepedihan
Hanya karena enggan jemari ini bersentuhan

Ampuni diri yang dzalim ini yaa Allah
Sadarkan, sebelum saatnya harus beranjak pergi
Jauh, dan... tak akan pernah kembali

Jemari itu tak lagi lentik. Terasa berbeda saat pertama kali disentuh kala malam pertama. Kulitnya bersisik dan berkerut, karena getir kehidupan. Guratan bekas parutan pun membuatnya bertambah kasar. Tak jarang jemari itu basah, menahan kristal-kristal bening yang menggenang di telaga mata. Pedih... teringat pedasnya kata yang pernah menusuk hati.

Kala keheningan malam menjamu temaramnya rembulan, diukirnya do'a-do'a dengan goresan harapan. Khusyu', berharap regukan kasih sayang dari Sang Pemilik Cinta. Hingga tubuh penat itupun bangkit, menatap belahan jiwa dengan tatapan cinta, kemudian perlahan dikecupnya sang kakanda dengan mesra.

Indah...
Sungguh teramat indah Al Qur'an melukiskannya, "Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka."

Adakah yang lebih indah dari rasa kasih sayang diantara kedua insan yang berlainan jenis dalam sebuah ikatan pernikahan? Ia adalah sebuah mitsaqan ghalidza (perjanjian yang kuat), karenanya yang haram menjadi halal, maksiat menjadi ibadah, kekejian menjadi kesucian dan kebebasan pun menjadi sebuah tanggung jawab.

Dua hati yang berserakan akhirnya bertautan. Cinta karena Allah, bukankah hanya itu yang menjadikan mahligai cinta selalu indah?

Keindahan cinta dalam sebuah mahligai pernikahan adalah harapan penghuninya. Cinta akan membuat seseorang lebih mengutamakan yang dicintainya, sehingga seorang istri akan mengutamakan suami dalam keluarga. Seorang suami pun tentu akan mengutamakan perlindungan dan pemberian nafkah kepada istri tercinta.

Cinta memang dapat berbentuk kecupan sayang, kehangatan, dan perhatian. Namun bunga cinta tetaplah membutuhkan pupuk agar selalu bersemi indah. Karenanya, segala kekurangan akan menumbuhkan kebesaran jiwa. Hingga air mata yang mengalir itu pun adalah sebagai tanda kesyukuran kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, karena IA telah memberikan pasangan hidup yang selalu bersama mengharap keridhoan-Nya.

Lalu, masihkah kehangatan itu nyata seiring waktu arungan biduk cinta di luas samudera?

Aaah...
Kadang kita sebagai suami lebih sering bersikap dzalim. Kesibukan tiada henti, rutinitas yang selalu dijumpai, lebih menjadi 'istri' daripada makna istri itu sendiri. Masihkah ada curahan kelembutan dari seorang qowwam yang teduh? Adakah belaian kasih sayang yang begitu hangat seperti kala pertama kedua hati bersatu?

Saat-saat awal pernikahan, duhai sungguh romantis. Rona mata penuh makna cinta terpancar saat saling berpandangan, kedua tangan saling bergandengan, hingga jemari tersulam mesra. Malam dan siang silih berganti mewarnai hari. Susah senang timbul tenggelam bagaikan gelombang laut. Keluh dan bosan pun kadang menelusup, hingga akhirnya aura cinta pun meredup. Kemesraan pun hanyalah sekadar kenangan belaka.

Entahlah...
Entah di mana canda yang dahulu pernah membuat sang belahan jiwa tertawa bahagia. Ciuman di kening seraya berpesan "Baik-baik ya, di rumah," atau pun sekadar ucapan salam "Assalaamu alaykum," saat akan keluar rumah. Bahkan, lupa kapan terakhir tangan ini menyentuh, menggenggam mesra jemari istri tercinta. Padahal dosa-dosa akan berguguran dari sela jemari saat kedua tangan bertautan.



~ Do'a Seorang Istri ~


Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim
Ampunilah dosa ku yg telah ku perbuat
Limpahkanlah aku dengan kesabaran yg tiada terbatas
Berikanlah aku kekuatan mental dan fisikal
Kurniakanlah aku dengan sifat keredhaan
Peliharalah lidahku dari kata-kata nista
Kuatkanlah semangatku menempuhi segala cobaanMu
Berikanlah aku sifat kasih sesama insan

Ya Allah
Sekiranya suami ku ini adalah pilihan Mu diArash
Berilah aku kekuatan dan keyakinan untuk terus bersamanya
Sekiranya suami ku ini adalah suami yg akan membimbing tanganku dititianMu
Kurniakanlah aku sifat kasih dan redha atas segala perbuatannya
Sekiranya suami ku ini adalah bidadara untuk ku di Jannah Mu
Limpahkanlah aku dengan sifat tunduk dan tawaduk akan segala perintahnya
Sekiranya suami ku ini adalah yang terbaik untukku di DuniaMu
Peliharalah tingkah laku serta kata-kataku dari menyakiti perasaannya
Sekiranya suami ku ini jodoh yang dirahmati olehMu
Berilah aku kesabaran untuk menghadapi segala cobaan

Tetapi Ya Allah
Sekiranya suami ku ini ditakdirkan bukan untuk diriku seorang
Kau tunjukkanlan aku jalan yg terbaik untuk aku harungi segala dugaanMu
Sekiranya suami ku tergoda dengan keindahan dunia Mu
Limpahkanlah aku kesabaran untuk terus membimbingnya
Sekiranya suami ku tunduk terhadap nafsu yang melalaikan
Karuniakanlah aku kekuatanMu untuk aku memperbaiki keadaanya
Sekiranya suami ku mencintai kesesatan
Kau pandulah aku untuk menarik dirinya keluar dari terus terlena

Ya Allah
Kau yang Maha Mebgetahui apa yang terbaik untukku
Kau juga yang Maha Mengampuni segala kehilapan dan ketelanjuranku
Sekiranya aku hilap dalam berbuat
Bimbinglah aku ke jalan yang Engkau redhai
Sekiranya aku lalai dalam tanggungjawabku sebagai isteri
Kau hukumlah aku didunia tetapi bukan diakhiratMu
Sekiranya aku ingkar dan durhaka
Berikanlah aku petunjuk kearah rahmatMu

Ya Allah sesungguhnya
Aku lemah tanpa petunjukMu
Aku buta tanpa bimbinganMu
Aku cacat tanpa hidayahMu
Aku hina tanpa RahmatMu

Ya Allah
Kuatkan hati dan semangatku
Tabahkan aku menghadapi segala cobaanMu
Jadikanlah aku isteri yang disenangi suami
Bukakanlah hatiku untuk menghayati agamaMu
Bimbinglah aku menjadi isteri Soleha

Hanya padaMu Ya Allah ku memohon segala harapan
Karena aku pasrah dengan dugaanMu
Karena aku sadar hinanya aku
Karena aku insan lemah yg kerap keliru
Karena aku terbuai dengan keindahan duniamu
Karena kurang kesabaran ku menghadapi cobaanMu
Karena pendek akal ku memahami ujianMu

Ya Allah Ya Tuhanku…
Aku hanya ingin menjadi isteri yang dirahmati
Isteri yang dikasihi
Isteri yang solehah
Isteri yang sentiasa dihati

Amin, amin Ya Rabbal Allamin..
Sumber: http://bundakeisya.wordpress.com/category/my-diary/

Rabu, 13 Januari 2010

Berlian-Berlian Kepribadian Rasulullaah SAW

(kiriman Papa Robbie)

BERLIAN PERTAMA

Berlian yang pertama, adalah Rasulullah yang agung ini hidup Zuhud luar biasa. Ia ikhlas tidur diatas tikar kasar hingga garis tikar tadi membekas di punggungnya. Bahkan tak jarang ia mengikatkan batu ke perut untuk
menahan rasa laparnya. Ketika Tuhan menawarkan kekayaan dunia, Nabi berakhlak paling mulia ini lebih memilih hidup Zuhud dan sederhana.


Rasulullah bersabda:

“Tuhanku menawarkan kepadaku bukit-bukit di Mekkah untuk dijadikan sebagai emas. Lalu saya menjawab : ”Hamba tidak mengharapkan itu semua wahai Tuhanku. Akan tetapi, saya lebih senang sehari lapar dan sehari kenyang. Tatkala kenyang, saya memuliakan dan bersyukur kepada-Mu. Sementara tatkala saya lapar,saya merendah dan berdoa kepada-Mu.” (HR. Ahmad)

BERLIAN KEDUA

Perhatian dan keperdulian Beliau kepada para sahabatnya seperti matahari menyinari bumi. Jika ia tak melhat sahabatnya selama tiga hari, ia akan menanyakan keadaannya. Jika sang sahabat tidak ada di rumah, beliau mendo’akannya. Sementara bila sang sahabat berada di rumah, beliau mengunjunginya.

BERLIAN KETIGA

Kemulian akhlaknya bak rembulan di kegelapan malam. Beliau sangat menghormati dan menyayangi tetangga.Tidak ada yang meminta kepadanya, kecuali beliau mengabulkannya. Beliau tidak berbincang dengan seseorang, kecuali disertai harapan kebaikan baginya. Beliau juga sangat menghormati wanita dan menyayangi anak-anak. Jika berpapasan dengan sekumpulan kaum wanita beliau akan mengucapkan salam terlebih dahulu pada mereka. Ia juga mengucapkan salam pada anak-anak belia.

BERLIAN KEEMPAT

Rasulullah Yang mulia dan kesayangan Tuhan ini seorang yang rendah hati serta tak pernah diam berpangku tangan. Beliau menambal sandalnya, menjahit sendiri pakaiannnya, memerah susu kambing peliharaannya dan mengerjakan sendiri semua keperluannya.

BERLIAN KELIMA

Beliau adalah suami paling manis dan romantis perlakuan pada istri-istrinya.Ini seperti digambarkan Aisyah dengan indah : “Para tentara berkumpul dan menari di mesjid pada hari raya. Lalu Nabi memanggilku. Saya menyandarkan kepala saya di pundak beliau. Dengan begitu saya bisa melihat permainan mereka sampai saya puas melihatnya.” (HR. MUSLIM)

BERLIAN KEENAM

Nabi Pilihan dan teladan manusia sepanjang jaman ini sangat menghormati pelayannya. Ia memperlakukan mereka dengan akhlaknya yang bak kilauan berlian di tengah samudera kehidupan. Anas menuturkan : ”Selama sepuluh tahun saya menjadi pelayan Rasulullah SAW, tidak pernah sama sekali beliau mencela saya,memukul, atau membentak saya. Beliau tidak pernah bermuka masam pada saya. Beliau juga tidak pernah mencaci maki saya karena keterlambatan saya
dalam melaksanakan suruhannya.” (HR. AHMAD)

BERLIAN KETUJUH

Akhlak beliau merupakan perwujudan Al Qur,an, kepribadiannya merupakan samudera berlian sepanjang jaman. Abu Abdillah Al-jadali bertanya kepada Aisyah : “Bagaimana akhlak Rasulullah SAW menurut istri-istrinya?” Aisyah menjawab : “Beliau adalah manusia yang paling baik budi pekertinya, Tidak pernah berbuat keji, kotor atau licik ketika di pasar. Beliaupun tidak pernah membalas keburukan atau aniaya orang lain dengan hal yang serupa, karena beliau seorang pemaaf dan toleran.” (HR. Bukhari)

BERLIAN KEDELAPAN

Beliau menjauhkan diri dari tiga hal: debat kusir, banyak bicara, dan segala sesuatu yang tidak bermanfaat. Selain itu, beliau juga mengiginkan manusia menjauhi tiga hal yaitu: tidak mencela orang lain, tidak mengungkap aibnya serta tidak mencari-cari kesalahannya.

BERLIAN KESEMBILAN

Kecintaannya pada orang-orang papa seperti air bening mengalir sepanjang kesejukan pegunungan. Ia berjalan akrab dengan para janda serta para kaum fakir miskin. Adakalanya dengan penuh cinta beliau menjahitkan sandal buat orang-orang papa serta menjahitkan pakaian untuk para janda.

BERLIAN KESEPULUH

Rasulullah SAW adalah orang banyak berzikir dan menghindari diri dari perkataan yang sia-sia. Banyak diam, mengawali dan mengakhiri perkataan dengan bahasa yang fasih sekali. Berbicara dengan bahasa yang singkat dan jelas tapi mempunyai makna yang sangat luas. Berbicara dengan perlahan dan tidak berlebihan.

Semoga bermanfaat...

Peran Islam dalam Urusan Cinta, Kasih Sayang, dan Rumah Tangga Sakinah.

Kiriman :Ustd Vicky R

Kalau kita mengajukan satu pertanyaan kepada setiap wanita yang kita jumpai : “apa impianmu yang paling utama dalam hidup ini?” dia pasti akan menjawab : “Menikah!” Lalu kalau kita menanyai pertanyaan lain :”Apa yang kamu inginkan dari menikah?” tentu dia akan menjawab :”Suami yang membuatku bahagia dan keluarga yang selalu aku sirami dengan air suci cinta dan kasih sayang”.
Inilah keinginan terbesar yang diimpikan setiap wanita. Lalu bagaimana cara mewujudkan impian tersebut? Bagaimana cara membangun keluaraga harmonis yang penuh cinta dan kasih sayang? Kalau kita mencari-cari cara terbaik untuk membangun keluarga idaman, pasti tidak akan menemukannya, kecuali dalam Islam. Mengapa hanya dalam Islam dan tidak yang lain?

Itu karena Islam telah meletakkan wanita pada posisi yang terhormat, posisi yang penuh dengan penjagaan dan pemeliharaan terhadap hak-haknya, posisi yang penuh dengan pengagungan dan penghormatan akan jati dirinya. Kehidupan rumah tangga dalam Islam adalah sesuatu yang suci, sesuci ritual ibadah kepada Allah. Mahligai rumah tangga laksna mihrab yang diterangi pelita kesucian yang tidak boleh dikotori dengan benda-benda najis.

Pasangan suami istri dalam kaca mata Islam tidak berjumpa dalam mahligai rumah tangga secara serampangan, tidak juga karena suatu kebetulan. Masing-masing tidak pernah menyerahkan dirinya kepada yang lain, tetapi keduanya bersua di atas meja cinta dan keserasian. Hati keduanya saling memahami sebelum lisan berbicara. Itulah asas rumah tangga dalam Islam, CINTA dan KASIH SAYANG. Islam memberikan kebebasan kepada wanita untuk menentukan pasangan hidupnya, yaitu kebebasan yang sama besarnya dengan kebebasan yang diberikan kepada laki-laki dalam menentukan teman hidupnya. Orang tua tidak berhak memaksa anak gadisnya untuk menikah dengan pemuda yang tidak dicintainya, karena pemaksaan hanya akan berakibat penyesalan yang tiada berujung.
Laki-laki juga demikian. Tidak mungkin menikah dengan seorang gadis hanya untuk menyenangkan ibunya atau ayahnya. Dia akan menikahi gadis yang menurutnya bisa menjadi naungan seperti sebuah pohon rindang, yang bisa menghilangkan rasa letih dalam mengarungi perjalanan hidup yang panjang dan melelahkan, dan yang bisa menghilangkan haus dan lapar dengan buahnya yang ranum dan segar.
Islam telah memerintahkan suami untuk menjaga istrinya dengan baik, menyayanginya sepenuh hati seperti sinar rembulan yang menerangi pejalan kaki di tengah malam yang gelap gulita. Cinta yang tulus dari seorang suami akan membuat si istri tabah dan kuat dalam mengarungi kehidupan yang kerap diterjang badai dan ombak. Suami harus membantu istrinya dalam mengurus rumah tangganya, menyuapinya makanan dengan penuh kasih sayang, menghiburnya kala cobaan datang mengeruhkan beningnya kehidupan, memupuk cinta yang ada di hatinya, menjaga lisannya agar tetap berkata lemah lembut penuh kemesraan, pujian, dan sanjungan terhadap istrinya, memuji kecantikannya ketika memakai baju baru, atau menyisir rambutnya yang panajang tergerai. Suami juga harus membisikkan kata-kata cinta penuh kemesraan di telinganya ketika mencium harumnya wewangian yang dipakainya, memuji kepandainnya dalam menghidangkan masakan yang lezat, mengatur perabotan rumah tangga dan menjaga kebersihan rumah dan lingkungannya.

Suami juga harus pandai berterimakasih atas kemampuan istrinya dalam mengatur perekonomian keluarga, memuji kepandainya dalam menyesuaikan pengeluaran dan pemasukan, memahami kekurangan yang dimiliki istrinya. Jika ada kekeliruan Ia tidak menegurnya dengan kata-kata kasar penuh cacian dan penghinaan, tetapi dengan kata-kata lembut yang menyentuh perasaanya. Suami harus senantiasa menampakan sikap yang menyenangkan istrinya, seakan akan istrinya adalah wanita tercantik dan termanis yang pernah ada, yang setiap hari nampak bertambah cantik dan menarik perhatiannya. Tanpa istrinya seakan hidupnya tiada arti.
Seorang suami juga harus menganjurkan istrinya untuk bersilaturrahim, mengunjungi kerabat dekat dan familinya sebisa mungkin, menganggap keluarga istrinya seperti keluarga sendiri, dan mengagumi apa yang dikagumi istrinya, sehingga hati istrinya merasa tenang, karena dia merasa bahwa perasaannya klop dengan perasaan suaminya. Suami juga harus bisa mengikuti hobbi yang disenangi istrinya sebisa mungkin. Dengan catatan bahwa hobbi tersebut tidak bertentangan dengan ajaran -ajaran islam. Jika itu terjadi, maka suami harus mampu membatasinya sebijak mungkin.
Suami juga harus berusaha menjadikan kehidupan rumah tangganya seperti sebuah cermin. Bayangan yang ada di dalamnya adalah sesuatu yang nyata, bukan palsu dan tipuan. Dia tidak boleh menampakkan satu wajah di hadapan istrinya, dan wajah yang lain ketika berada jauh darinya, karena Islam menjadikan orang-orang munafiq sebagai kelompok manusia yang mendapatkan adzab paling pedih pada hari Kiamat.

Perhatian adalah sesuatu yang sangat penting dalam keluarga. Suami harus selalu mencurahkannya untuk istri dan seluruh anggota keluarganya. Perasaan juga tidak kalah pentingnya. Karena itu, suami harus selalu berusaha memperbarui perasaan cintanya kepada istrinya. Hal itu bisa dilakukan dengan cara selalu menampakkan cinta dan kasih sayangnya, merasa takut kehilangannya, dan selalu meyakinkan istrinya bahwa ia adalah dunia dan akhiratnya. Ingat, istri itu selalu pencemburu, bahkan terhadap seorang bidadari sekalipun yang dijanjikan untuk setiap laki-laki di surga kelak.
Suami juga harus hati-hati dalam bersikap di hadapan keluarga istrinya. Dia seharusnya memperlakukan mereka dengan sopan dan santun. Jangan sekali-kali memancing kemarahan mereka. Lebih baik bersikap penuh kehatia-hatian layaknya dia sedang menghadapi binatang buas yang setiap saat bisa menerkamnya.

Dalam urusan belanja pribadinya, suami juga harus mengencangkan ikat pinggangnya. Jangan sampai dia bersikap boros. Usahakan untuk tidak membeli sesuatu kecuali yang sangat mendesak dan benar-benar dibutuhkan, berusaha untuk menambah penghasilan dengan cara-cara yang halal, dan tidak membuang-buang waktu untuk sesuatu yang tidak bermanfaat, baik bagi dirinya maupun keluarganya, karena menggunakan waktu sebaik mungkin untuk kepentingan keluarga adalah sebuah jihad di Jalan Allah yang akan diberi pahala.

Dalam urusan pendidikan, suami harus bisa bekerjasama dengan istrinya dalam mendidik anak-anak, terutama dalam masa balita dan remaja, karena mereka adalah buah cinta keduanya. Mematangkan mereka dalam bidang keilmuan dan moral adalah tanggungjawab berdua secara bersamaan. Suami harus berusaha sekuat tenaga untuk menyenangkan istri dan anak-anaknya, dan yang penting adalah bagaimana dia bisa menjadi suri tauladan yang baik bagi mereka dalam segala aspek kehidupan. Ingat , suami adalah pemimpin dalam rumah tangga. Keutuhan dan kehancurannya ditangan suami.
Itulah sekilas tentang ajaran Islam bagi suami dalam rumah tangga, supaya rumah tan gganya menjadi sakinah penuh cinta dan kasih sayang, jauh dari segala pertengkaran dan pergolakan. Lalu bagaimana ajaran Islam untuk para istri dalam rangka menciptakan rumah tangga yang bahagia? Islam mengajarkan untuk mereka kebahagiaan, ketentraman, kedamaian, rasa aman yang tinggi, dan kesejahteran.

Istri harus berusaha menjadi pusat perhatian suaminya, dengan senyum manis senantisa terkembang, pandangannya hangat penuh cinta dan tutur kata lembut penuh kemanjaan. Ia harus selalu berusaha menjadi seorang bidadari di rumahnya. Tubuhnya harum mewangi, wajahnya cerah, perilakunya lembut, dan tutur katanya mendatangkan kedamaian di hati, sehingga suami benar-benar merasa bahwa rumahnya adalah surga yang penuh kenikmatan dan kesenangan.
Ia bagaikan bunga yang segar dan menyejukkan mata. Hatinya bening sebening mata air pegunungan. Senyumannya manis semanis telaga madu. Wajahnya terang secerah bulan purnama. Jika suaminya sakit, ia menjadi dokter pribadinya yang senantiasa setia menemaninya. Jika dunia gelap di matanya, ia menjadi pelita yang siap menerangi jalannya. Jika ia kehausan, ia menjadi pelepas dahaga yang menyejukkan. Pokoknya, apapun yang dilakukannya selalu menebarkan pesona di mata suaminya. Kelemah lembutannya dalam memperlakukan suaminya sama dengan perlakuannya terhadap teman-teman deketnya, penuh keakraban dan senda gurau.

Istri yang baik tidak pernah merasa tenang jika suami tercintanya berada dalam masalah. Matanya tidak pernah bisa dipejamkan manakala suaminya bersedih dan bermuram durja. Perasaanya yang halus mampu mendeteksi apa yang ada dalam hati suaminya sebelum ia mengatakannya. Ia bisa menebak apa yang berkecamuk dalam benak suaminya sebelum ia menceritakannya.

Istri muslimah yang shalihah hidup dengan suaminya sepenuh hati, sepenuh perasaan, sepenuh jiwa dan raganya. Perasaan dan pikirannya tidak pernah lepas dari pasangannya. Detak jantungnya adalah detak jantung suaminya, selalu berbagi suka maupun duka. Dikala suka ia membaginya untuk suami tercinta. Senyum diwajah suaminya mampu menghilangkan semua duka yang menderanya. Suami baginya adalah benteng yang kokoh, pedang yang tajam, sungai yang mengalirkan air jernih, ladang yang subur, dan pelita yang terang benderang.

Ibadah menjadi aktivitas yang tak pernah terlewatkan. Dia mendekatkan diri kepada Rabbnya dengan melayani suaminya setulus hati. Bukankah islam telah menjadikan ketulusan seorang istri terhadap suaminya setara dengan jihad fi sabilillah dalam hal ganjarannya? Seorang istri bisa menadapatkan pahala ash-shiddiqin (orang-orang jujur dan tulus) jika selalu jujur dalam tindakan dan ucapannya. Dia juga bisa mendapatkan pahala al-abrar (ahli kebajikan) jika mampu memenuhi semua kewajiban terhadap suaminya. Dia juga bisa mendapatkan pahala asy-syuhada jika ia mampu melewati kesulitan dalam mengurus suami dan anak-anaknya.

Jika ia mampu menjaga kehormatan dan melaksanakan kewajibannya dengan baik, do`anya bisa terkabul dan masuk surga dari pintu manapun dia suka Subhanaallah. Dia juga akan senantiasa dijaga oleh para malaikat jika mampu mensucikan fitrah dan akhlaknya dari segala kotoran dan najis ruhaniyah. Dia juga bisa menjadi bidadari suci jika mampu membersihkan hatinya dengan air keimanan dan menjaganya dari bisikan-bisikan hawa nafsu. Dia juga bisa mencatat sejarah dengan melahirkan generasi genius jika mampu mendidik anak-anaknya dengan pendidikan Islam.

Untuk mewujudkan semua impian itu tiada yang bisa dilakukannya, kecuali mencontoh para wanita shaleh, menjadikan mereka figur-figur yang diidolakan sepanjang masa. Mereka berbagi suka dan duka dengan suami-suami mereka tanpa keluh kesah. Perjuangan mereka layak mendapatkan medali penghargaan yang layak selayak yang diterima para syuhada yang gugur di medan perang. Bukankah Allah telah memuji mereka dalam Al Qur`an Al Kariim?

Wanita memiliki kemampuan luar biasa dalam menciptkan kehidupan yang baik. Jika ia memiliki impian untuk menyulap rumhnya menjadi kebun surga yang indah, pasti ia mampu melakukannya dengan sedikit biaya. Rumah tangga yang baik bukanlah rumah yang selalu dipenuhi dengan perabotan mewah dan modern. Tapi rumah kebahagiaan adalah yang mampu menyatukan banyak hati yang disinari cinta dan kasih sayang, keserasian, kesetian, dan ketulusan untuk hidup berbagi suka dan duka dalam segala suasana. Betapa besar perhatian Islam dalam urusan cinta! Pastilah salah besar jika ada yang menuduh Islam mengajarkan kekerasan dan teror.
(Sumber: Kitab “Madkhol ila qolbi Hawaa`” (Menyelami hati Wanita), karangan : `Abdul Mun`im Qindil).

Tinggalkan komentar anda :

 
AddMe - Search Engine Optimization